Seputar
Masalah Vaksin
Sejarah
Vaksin
Tercatat
dalam sejarah, awal mula ditemukannya vaksin sekitar abad ke-7, ketika
sekelompok orang Budhis memutuskan bahwa mereka bisa menjadi imun terhadap efek
racun ular dengan meminum suatu bahan yang sangat bau. Pada tulisan-tulisan
Cina abad 16, dijelaskan bagaimana orang mengkontakkan diri dengan cacar air,
yaitu dengan menempatkan bubuk kerak dari anak-anak yang terinfeksi ke dalam
hidung anak-anak yang sehat. Mereka berpikir, bahwa mereka bisa membantu mencegah
suatu penyakit atau kondisi dengan mengkontakkan diri dengan sebentuk bahan
yang menjadi penyebabnya, tetapi pada saat itu mereka belum sepenuhnya memahami
apa yang mmereka lakukan.
Pada
akhir abad ke-18, Edward Jenner menemukan bahwa pengkontakkan dengan penyakit
hewan cacar sapi, membuat ornag imun terhadap penyakit cacar air manusia yang
mematikan. Ini adalah konsep yang ada pada saat itu dianggap membantu
menyelamatkan manusia, tetapi penggunaan penyakit hewan untuk merawat manusia,
juga menghadirkan kemungkinan bahwa ada penyakit lain yang juga ditularkan
bersamaan dengan virus yang dimasukkan.
Di
antara saat Jenner mempublikasikan karyanya pada tahun 1798 dan Louis Pasteur
mengembangkan vaksin rabies yang pertama untuk manusia di tahun 1885, beberapa
ahli ilmu termasuk Pasteur, meneliti masalah ini. Pada saat itu, Pasteur
memajukan konsep atenuasi atau pelemahan, yaitu penggunaan bentuk virus
yang telah dilemahkan untuk menghasilkan imunisasi. Pasteur menemukan bahwa
bentuk yang sudah dilemahkan dari kolera ayam sangat efektif dalam mencegah
penyakit. (Diodati, Catherine J.M Immunizations: History,
Ethics, Law and Health, Ontario)
Sekarang
ini vaksin atenuasi digunakan secar luas. Protes terhadap pemakaian vaksin juga
bukan sesuatu yang baru. Ketika Pasteur memperkenalkan vaksin rabiesnya untuk
manusia di tahun 1885, baik para dokter maupun masyarakat memprotes
penggunaannya. Pada pergantian abad, tentara Inggris yang berperang di Perang
Boe di Afrika Selatan memprotes keras suntikan melawan penyakit tifoid yang
berbahaya. Pada dekade berikutnya rasa takut pada polio begitu besar, sehingga
imunisasi massal dengan suntikan vaksin salk yang dimulai tahun 1955
disambut terbuka. Tetapi ternyata vaksin Salk tidak bisa memberikan
perlindungan pebuh terhadap virus polio, sehingga diperkenalkan vaksin hidup oral
dari Sabin tahun 1961, yang menawarkan imunitas yang lebih luas. Sekarang ini
vaksin oral tidak lagi dianjurkan karena telah terbukti menyebabkan polio pada
beberapa penerimaannya dan orang-orang yang berkontak akrab dengan mereka yang
baru divaksinasi. Sejarah masih terus berjalan, vaksin baru dan formula baru
dari vaksin yang sudah ada masih terus dikembangkan hingga saat ini.
Sejarah
Penggunaan Vaksin
1906
: Dikembangkan vaksin terhadap batuk rejan (pertusis)
1921
– 1928 : Dikembangkan vaksin terhadap
difteri
1933
: Tersedia vaksin tetanus
1940
: Dikembangkan vaksin kombinasi difteri, tetanus dan pertusis (DPT)
1946
: Tersedia vaksin DPT
1954
: Jonas Salk mengembangkan vaksin polio yang pertama (suntikan) di
Amerika Serikat
1955
: Vaksin polio diberi lisensi dan disebarkan gratis melalui
undang-undang pembantu vaksinasi poliomielitis
1963
: Vaksin polio oral dari Albert Sabin diberi lisensi
1968
: Dikembangkan vaksin gondong
1969
: Vaksin rubela/campak Jerman diberi lisensi
1978
: Tersedia vaksin pneumokokal
1979
: Vaksin MMR ditambahkan ke jadwal vaksinasi rutin pada anak
1981
: Jepang memberi lisensi pada vaksin DaPT, versi yang lebih aman dari
vaksin DPT
1982 : Tersedia vaksin hepatitis B. Juga orang tua
dari anak-anak yang tercederai oleh vaksin DPT membentuk kelompok orang tua
yang tidak puas (berkembang menjadi Sentra Informasi Vaksin Nasional) untuk
mencoba mempengaruhi vaksin pertusis yang lebih aman dalam suntikan DPT
1986
: Vaksinasi rekomendasi hepatitis B yang pertama mendapat lisensi
1987
: Vaksin Haemaphilus Influeszae jenis B (HIB) mendapat lisensi
1991 :
Sentra untuk pengendalian penyakit menganjurkan agar semua bayi menerima vaksin
hepatitis B. Amerika Serikat memberi lisensi untuk vaksin DaPT untuk anak
berusia 18 bulan ke atas.
1995
: Vaksin Varicella diberi lisensi
1996
: FDA memberi lisensi untuk vaksin DaPT untuk
anak berusia di bawah 18 bulan dan Komite Penasehat dari Sentra Pengendalian
Penyakit untuk kebijakan Imunisasi menganjurkan vaksin DaPT digunakan untuk menggantikan
suntikan DPT orisinil
1998 : Pemerintah Perancis menghentikan
program vaksinasi hepatitis B di sekolah-sekolah karena laporan-laporan multipel
sklerosis dan masalah auto imun lainnya serta masalah kelainan syaraf otak.
1999 : Vaksin hasil tehnik genetika untuk
rotavirus, ditarik dari pasaran setelah banyak bayi yang divaksinasi menjadi
sakit berat oleh sumbatan usus, paling sedikit satu bayi meninggal. Perdebatan
tentang keamanan vaksin dimulai di tingkat kongres AS. Para pembuat vaksin
diminta untuk menghilangkan atau banyak mengurangi jumlah merkuri di dalam
vaksin.
2000 :
Sentra Pengendalian Penyakit menganjurkan suntikan vaksin polio menggantikan
vaksin oral karena yang terakhir ini menimbul kan sampai sepuluh kasus
polio pertahun. Vaksin pneumokokal Prevnar dianjurkan untuk bayi. (Diodati,
Catherine J.M Immunizations: History, Ethics, Law and Health, Ontario)
Definisi
Vaksin
Vaksin
adalah suatu bahan yang diyakini dapat melindungi orang terhadap penyakit.
Vaksin dibuat dari virus atau bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya
penyakit. Sedikit bahan patogen yang disiapkan disuntikan ke dalam tubuh
sehingga dapat membantu memerangi penyakit yang lebih ganas atau didapat secara
alami. Tujuan utama vaksin adlah merangsang pembentukan antibodi dengan
konsentrasi yang cukup tinggi untuk menghentikan perjalanan patogen, sehingga
mencegah mereka yang mendapatkan vaksinasi dari terjangkitnya penyakit.
Tata
cara Pembuatan Vaksin
Vaksin
dalam pembuatannya mempunyai 3 jenis bahan utama yaitu, bahan kuman virus atau
bakteri hidup atau mati, toksoid, atau DNA, bahan-bahan yang ditambahkan untuk
menjalankan berbagai fungsi dan biakan dimana vaksin dibuat. Bahan-bahan
tambahan itu adalah :
1. Aluminium.
Logam ini ditambahkan kepada vaksin dalam bentuk gel atau garam, untuk
mendorong produksi antibodi. Aluminium telah dikenal sebagai kemungkinan
penyebab kejang, penyakit alzheimer, kerusakan otak dan dementia
(pikun).
Sebuah kajian yang
diterbitkan majalah Pediatris, misalnya menemukan bahwa anak-anak yang menerima
vaksin Pertuasis yang mengandung aluminium mengalami respon alergi, sementara
anak-anak yang menerima vaksin Pertuasis yang tidak mengandung aluminium tidak
mengalami reaksi seperti itu. Aluminium digunakan pada vaksin-vaksin DPT, DaPT,
dan Hepatitis B.
2. Benzetonium
klorida, Vaksin anthrax (terutama diberikan kepada personal militer) mengandung
Benzetonium, yaitu bahan pengawet yang belum dievaluasi untuk konsumsi manusia.
3. Etilen
glikol, merupakan bahan utama anti beku yang digunakan pada beberapa vaksin
yaitu, DaPT, Polio, Hib, Hepatitis B sebagai bahan pengawet.
4. Formaldehida/formalin.
Bahan ini menimbulkan kekhawatiran besar karena dikenal sebagai karsinogen
(zat pencetus kanker). Formal dehida dikenal untuk penggunaan dalam proses
pembalsaman. Digunakan juga pada fungisida, insektisida, di dalam pembuatan
bahan peledak dan kain. Bahan ini dianggap bisa cocok dengan bahan lain,
termasuk bahan yang juga ditemukan di dalam beberapa vaksin, yaitu fenol. Di
dalam vaksin, cairan formal dehida digunakan untuk menon-aktifkan kuman.
Formalin bukan saja racun, tetapi menurut Sir Graham S. Wilson, pengarang buku
The Hazards of Immunization, juga tidak memadai sebagai desinfektan. Kenyataan
ini sudah diketahui selama beberapa dekade. Penggunaan yang berkelanjutan dari
bahan yang tidak bisa diandalkan dan berbahaya ini jelas melanggra prinsip
Non-malefisiensi (tidak melakukan kerusakan). Formaldehida dapat ditemukan pada
beberapa vaksin.
6. Gelatin. Adalah bahan yang dikenal sebagai
alergen (bahan pemicu alergi). Bahan ini ditemukan pada vaksin cacar air dan
MMR.
7. Glutamat.
Digunakan untuk menstabilkan beberapa vaksin terhadap panas, cahaya, dan
kondisi lingkungan lainnya. Bahan ini dikenal menyebabkan reaksi buruk dan
ditemukan pada vaksin Varicela.
8. Neomisin. Antibiotik ini digunakan untuk
mencegah pertumbuhan kuman di dalam biakan vaskin. Neomisin menyebabkan raksi
alergi pada beberapa orang. Neomisin ditemukan pada vaksin MMR dan Polio.
9. Fenol. Bahan yang berasal dari tar batubara
ini digunakan di dalam produk bahan pewarna, desinflektan, plastik, bahan
pengawet, dan germiside. Pada dosis tertentu bahan ini sangat beracun dan lebih
bersifat membahayakan, daripada merangsang sistim imun. Ini sangat berlawanan
dengan tujuan pembuatan vaksin, termasuk vaksin tifoid.
10. Streptomisin. Antibiotika
ini dikenal menimbulkan reaksi alergi pada beberapa orang. Bahan ini ditemukan
pada kedua bentuk vaksin polio.
11.
Timerosal. Bahan ini adalah bahan pengawet yang mengandung hampir 50%
etilmerkuri, yang berarti mempunyai banyak sifat yang sama dengan merkuri (air
raksa) yang sangat beracun. Selama beberapa dekade bahan ini digunakan pada
hampir setiap vaksin yang ada di pasaran.
Memang
bahan-bahan ini dipakai dalam jumlah sedikit, tetapi bahan ini beracun atau
alergen. Seklai bahan ini disuntikkan ke dalam aliran darah dan sistem imun
yang belum matang pada anak, maka bahan ini tidak bisa dibuang dengan memadai
oleh empedu dan hati, karena produksi empedu belum sempurna. Seperti yang
dikatakan oleh seorang ibu, “Saya tidak akan memberikan makanan yang mengandung
MSG pada anak saya dan juga tidak akan memberikan aluminium, air raksa atau
formalin kepada anak saya, jadi mengapa saya harus membiarkan dokter-dokter
menyuntikkan bahan-bahan itu ke dalam aliran darah anak saya?”.
Formula
Dasar dari Vaskin
Vaksin
terdapat dalam 3 jenis, yaitu, vaksin hidup, vaksin mati (tidak diaktifkan atau
dimatikan), dan vaksin rekombinasi DNA.
1. Vaksin
Hidup. Vaksin hidup dibuat di dalam labolatorium dari organisme hidup (biasanya
virus) penyebab penyakit. Vaksin hidup ini dilemahkan sehingga diharapkan dapat
menyebabkan sistem imun tubuh menghasilkan kekebalan tubuh terhadap penyakit.
Tetapi beberapa orang mengalami gejala penyakit dari virus yang dilemahkan
tersebut, meskipun pada sebagian orang gejalanya ringan. Contoh, virus hidup
yang dilemahkan misalnya polio (yang ditelan), campak, gondong, cacar air,
rubela dan demam kuning. Vaksin-vaksin bakteri hidup termasuk vaksin untuk
demam tifoid dan vaksin Basilus Calmette Guerin (BCG), yang digunakan untuk
Tuberkulosis (TBC). Beberapa ahli menyatakan bahwa sistem imun berespon
terhadap vaksin hidup yang telah dilemahkan dengan cara yang sama seperti yang
dilakukannya ketika menghadapi infeksi alami, beberapa ahli tidak
menyetujuinya. Orang-orang yang mempertanyakan kebijaksanaan pemberian vaksin
hidup, menyatakan bahwa vaksin hidup bisa menyebabkan penyakit dengan versi
ringan. Tetapi untuk bayi dan anak kecil mereka menyatakan bahwa vaksin-vaksin
ini bisa memiliki konsekuensi yang lebih serius dan menunjuk pada hubungannya
dengan terjadinya autisme dan penyakit auto-imun.
2. Vaksin
Mati. Vaksin mati atau tidak aktif mengandung semua atau sebagian dari
organisme penyebab penyakit yang telah dibunuh atau dibuat tidak aktif. Tidak
seperti yang hidup, vaksin mati tidak bisa bereproduksi, sehingga mereka tidak
menyebabkan penyakit yang ingin dicegahnya. Mereka memicu respons yang lebih
lemah dari sistem imun tubuh dibandingkan vaksin hidup. Dibanding vaksin hidup,
mereka juga cenderung lebih aman untuk orang-orang yang memiliki sistem imun
yang lemah, untuk ibu hamil, dan anak di bawah 1 tahun. Sebagian besar vaksin mati berbasis protein,
seperti bakteri yang mereka tiru. Beberapa dari bakteri ini dilapisi dengan
gula yang disebut polisakarida. Ketika para ahli ilmu mencoba mengembangkan
vaksin-vaksin untuk bakteri yang dilapisi gula, mereka menemukan bahwa
vaksin-vaksin polisakarida murni tidak bekerja dengan baik pada bayi. Tetapi ketika
mereka menggabungkan polisakarida dengan suatu protein, vaksin-vaksin lebih
efektif untuk bayi dan anak kecil. Vaksin yang tidak aktif digunakan untuk
penyakit kolera, hepatitis A, influenza, Lyme, plak, pertusis (batuk rejan),
polio (suntikan), rabies, dan tifoid. Jenis lain vaksin yang tidak aktif adalah
toksoid, yang dibuat dari toksin (racun) yang sudah dinon-aktifkan yang
diproduksi oleh bakteri dan virus. Vaksin-vaksin untuk difteria dan tetanus
adalah toksoid.
3. Vaksin
Rekomendasi DNA, dibuat dengan tehnik genetika. Vaksin hepatitis B adlah salah
satu contohnya. Vaksin ini tidak menggunakan seluruh organisme, tetapi
mengambil gen-gen khusus dari bahan penimbul infeksi (misalnya virus, bakteri)
dann menambahnya ke dalam biakan virus. Misalnya, vaksin hepatitis B dibuat
dengan menyisipkan sebagaian dari gen virus B ke dalam ragi roti, suatu biakan
di dalam mana vaksin diproduksi. Para ahli mengatakan bahwa vaksin rekomenasi
DNA adalah vaksin lain karena ia tidak mengandung seluruh bahan infeksi dan
karenanya tidak bisa menyebabkan infeksi yang sesungguhnya. Tetapi kekhawatiran
terbesar tentang vaksin ini adalah mereka bisa menyebabkan sistem imun tubuh
memproduksi antibodi-antibodi yang pada gilirannya menyerang bagian-bagian
tubuh dan meninggalkan masalah kesehatan. Masih banyak yang belum diketahui
tentang efek dari vaksin rekomendasi DNA.
Untuk
vaksin yang tidak dibuat dengan teknologi genetika, bakteri yang beracun atau
virus yang hidup akan dilemahkan dengan
berulang-ulang dilewatkan melalui suatu media biakan, untuk mengurangi
keampuhannya. Vaksin-vaksin mati dinon-aktifkan dengan menggunakan pansa,
radiasi atau bahan kimia. Virus atau bakteri yang telah dilemahkan kemudian
dikuatkan dengan menambah bahan penstabil atau tambahan bahan-bahan yang
mendorong produksi antibody. Bahaya bisa menyusup selama pembuatan vaksin.
Semua virus mati atau hidup mengandung DNA dan RNA, yaitu materi pembawa
genetic. Ketika vaksin dibuat, virus-virus ini ditempatkan di dalam suatu media
biakan, misalnya sel-sel masnusia (jaringan janin yang gugur), otak kelinci,
jaringan marmot, jaringan ginjal anjing, jaringan ginjal monyet, embrio ayam,
lambung babi, protein telur ayam, dll. DNA dan RNA dari virus bisa ditangkap
oleh sel-sel hewan di dalam biakan. Sel-sel tempat RNA virus sudah bersatu ke
dalam DNA dari sel-sel hewan disebut Provirus.
Provirus
bisa tetap tidak aktif (tidur) di dalam tubuh selama bertahun-tahun. Jika
provirus menjadi aktif, banyak ahli yang percaya bahwa provirus bertanggung
jawab untuk kelainan auto-imun, di mana sistem imun tidak bisa membedakan
jaringanya sendiri dengan benda asing penyerang, dengan demikian tubuh
menyerang dirinya sendiri. Termasuk di dalam penyakit auto-imun adalah
diabetes, rematoid arthritis, dan asma. Selain itu protein hewan yang digunakan
di dalam biakan tidak dicerna di dalam tubuh manusia, dan protein yang tidak
dicerna adlah penyebab utama alergi. Protein yang tidak dicerna juga bisa
menyerang lapisan dinding pelindung sel-sel syaraf dan menimbulkan masalah persyarafan.
Jenis
jaringan lain tempat vaksin ditumbuhkan adalah jaringan janin manusia. Paling
sedikit satu dari setiap vaksin polio, MMR, rabies, cacar air, dan hepatitis A
dibuat dengan cara ini. Vaksin-vaksin ini bisa saja menyebabkan respon
auto-imun setelah disuntikan, perlu kajian lebih lanjut untuk memastikannya.
Bagi beberapa orang, penggunaan jaringan janin manusia merupakan isu etika,
karena jaringan ini biasanya didapatkan dari janin yang digugurkan. (Stephanie Cave
and Deborah Mitchell, Orangtua harus tahu tentang Vaksinasi pada Anak, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta 2003)
Data
dan Proses Pembuatan Vaksin
Proses pembuatan Vaksin Polio
Inaktif (IVP), Virus Polio dikembang biakan menggunakan sel vero (berasal dari
ginjal kera) sebagai media.
Proses
produksi :
1. Penyiapan medium (sel vero) untuk
pengembangbiakan virus 3. Panen virus 5.
Atenuasi (pelemahan virus)
2. Penanaman 4. Pemurnian virus
Tripsin
Digunakan
dalam proses pembuatan vaksin sebagai enzim proteolitik (enzim yang digunakan
sebagai katalisator pemisahan sel/protein). Tripsn digunakan dalam proses
produksi OVP (oral Polio Vaccine) dan IPV (Inaktivated Polio Vaccine) yang
merupaka unsure/derivate pancreas babi. Dalam setiap tahapan amplifikasi sel,
Tripsin harus dicuci bersih oleh karena tripsin akan menyebabkan gangguan pada
saat sel vero menempel pada mikrokarier.
Produk
Akhir Tidak Mengandung Tripsin
Kemungkinan
masih adanya tripsin pada produk akhir adalah nihil karena, tripsin dicuci
(dihilangkan) setelah digunakan. Jika enzim ini tidak dihilangkan secara
sempurna, sel tidak akan bisa melekat dengan benar pada mikrokarier untuk proses
pengembangan sel berikutnya, pencucian menggunakan larutan PBS Buffer. Proses
pembuatan vaksin polio ini menggunakan tahap pemurnian, seperti ultrafitrasi,
dilusi dan kromatografi di mana sangat berperan dalam menghilangkan residu
tripsin jika masih ada. Tripsin yang berasal dari babi merupakan katalisator
penting dalam pembuatan vaksin polio.
Selain
ginjal kera, sumber lain untuk media adalah embrio kera, embrio ayam, embrio
kelinci, embrio manusia. Di AS gereja katolik dan kelompok prolife menolak keras
pemakaian embrio manusia untuk media pembentukan kultur sel (cell line).
Ada
cell line yang mendominasi pasar :
1. WI-38 : produksi Wistar Institute Philadelpia
(dikembangkan oleh Dr. L. Heyflik, 1962) berasal dari sel paru embrio perempuan
berusia 3 bulan yang mengalami aborsi.
2. MCR-5 : produk Medical Research Council
(MCR), Inggris 1966, berasal dari sel paru-paru embrio laki-laki berusia 14
minggu yang sengaja di aborsi oleh ibunya karena alas an kejiwaan.
3. PER-C6 dibuat oleh Dr. Alex Van
Der Eb dari retina embrio berusia 18 minggu yang sengaja diaborsi oleh ibunya. (Prof. Dr.
Jurnalis Udin, seminar nasional kehalalan obat dan kosmetika LP POM &
University YARSI, 17 April 2007)
Vaksin
yang Berasal dari Embrio manusia
Penyakit Nama
vaksin Produksi Cell
line
Polio Poliovax Aventis/Pas MRC-5
Rabies Imovax Ditto MRC-5
Hepatitis
A Havrix Merch MRC-5
Smallpox Acambis Glaxo/SK MRC-5
Chickenpox Varivax Merck MRC-5/WI-38
Measles,
Mumps, Rubella MMR
II Merck WI-38
Mumps,
Rubella Biavax Merck WI-38
Rubella only Meruvax Merck WI-38
Di
berbagai wilayah di dunia dengan instruksi WHO, program untuk imunisasi masal
dijalankan oleh pemerintah Negara melewati UU Kesehatan. Program imunisasi masal mempunyai sasaran utama yaitu
bayi dan anak-anak, kepada orangtuanya dikatakan bahwa mereka harus menerima
dosis ganda dari 10 vaksin yang berbeda sejak kelahiran sampai usia 5 tahun.
Alasan dibalik imunisasi masal dinyatakan
oleh Rapat Tahunan Kesehtan Dunia yang ke-13 :Vaksinasi bukan sekedar
masalah pribadi. Vaksinasi adalah masalah masyarakat, karena tujuan dari
program vaksinasi adalah menghasilkan imunitas kelompok.
Imunitas kelompok adalah tingkat di mana suatu
populasi tertentu bisa bertahan terhadap penyakit. Untuk mencapai tingkat
imunitas kelompok yang tinggi, kelompok yang berpihak pada imunisasi missal berusaha
untuk mencapai angka vaksinasi yang setinggi mungkin dengan harapan nyaris
setiap orang di dalam kelompok yang terpilih akan terlindungi dari penyakit.
Salah satu argumentasi utama mereka yang menentang imunisasi masal pada
anak-anak adalah bahwa badan-badan pemerintah, pabrik vaksin dan pemain lain
dalam area vaksinasi wajib memiliki sikap “satu ukuran untuk semua orang” yang
sangat berbahaya. Padahal setiap orang berbeda dengan yang lain dengan
genetika, lingkungan sosial, riwayat kesehatan keluarga dan pribadi yang unik
yang bisa berefek pada acara mereka bereaksi terhadap suatu vaksin. Selain itu
tidak semua penyakit dan vaksin adalah sama.
Vaksin tampaknya saja aman karena iklan yang
didengungkan secara berkesinambungan, tetapi sesungguhnya sangat berbahaya.
Efek buruk vaksin bisa menyebabkan cedera, komplikasi bahkan kematian bagi si
penerima vaksin. Efek uruk itu bisa terjadi beberapa jam, beberapa hari, beberapa
bulan atau tahun, tergantung pada tubuh si penerima vaksin. (Stephanie Cave
and Deborah Mitchell, Orangtua harus tahu tentang Vaksinasi pada Anak, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta 2003)
Racun
Pada
vaksin yang mengandung bakteri mati, bakteri ini bisa melepaskan racun ke dalam
aliran darah. Jika racun ini mencapai otak bisa menjadi masalah persyarafan,
termasuk autisme, kesulitan memusatkan perhatian dan masalah prilaku.
Auto-imun
Vaksin
seharusnya memicu sistem imun tubuh untuk menyerang komponen-komponen vaksin.
Tetapi bagaimana jika sistem imun menyerang lebih banyak daripada yang
seharusnya, yaitu menyerang bagian-bagian tubuh yang susunan kimiawinya serupa
dengan vaksin? Jenis reaksi ini disebut auto-imun, yang berarti tubuh menyerang
diri sendiri. Reaksi ini bisa terjadi pada vaksin campak, tetanus dan flu.
Infeksi
Vaksin
yang mengandung virus hidup bisa menyebabkan penyakit yang seharusnya
dicegahnya. Salah satu contohnya adalah vaksin polio oral (ditelan) yang sejak
1 januari 200 tidak lagi dianjurkan untuk digunakan karena vaksin tersebut
bertanggung jawab untuk sekitar 10 kasus polio yang dilaporkan per tahun ketika
vaksin tersebut diberikan. Juga vaksin campak, gondongan, rubela dan cacar air,
kadang-kadang menjuruskan ke gejala-gejala penyakit yang seharusnya dicegah.
Efektivitas
dan Keamanan Vaksin Diragukan
Puluhan
ribu kejadian buruk akibat vaksin telah dilaporkan, dan ada puluhan ribu
lainnya yang tidak dilaporkan. Pada bulan April 1998, ketika sebuah artikel
pada “Journal of the American Medical Association” melaporkan bahwa
labih dari 2 juta orang Amerika menjadi sakit parah dan 106 ribu meninggal
setiap tahunnya karena reaksi racun dari obat-obatan yang diresepkan oleh petugas
kesehatan profesional. Pada anak-anak, vaksin dan antibiotika bertanggung jawab
untuk sebagian besar reaksi negatif dibandingkan obat-obat resep lainnya.
Pada
bulan Oktober 1999, Neal Halsey, MD. Direktur Institut untuk Keamanan Vaksin, Sekolah Kesehatan Masyarakat,
Universitas Johns Hopkins memberikan kesaksian di hadapan komite untuk
Reformasi Pemerintah dari Dewan Perwakilan Amerika Serikat. Dalam pernyataannya
ia berkata “Keamanan vaksin harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan yang
baik, bukan hipotesa, pendapat, keyakinan perorangan atau pengamatan. Agen-agen
Federal yang bertanggung jawab untuk keamanan vaksin dan
universitas-universitas besar mempunyai prosedur untuk menjamin penelitian dan
kajian ilmiah yang berkualitas tinggi untuk isu keamanan vaksin.” Banyak
orang mempertanyakan apakah prosedur ini ditepati, terutama pada kasus-kasus
seperti vaksin rotavirus, yang dilemparkan ke pasar pada tahun 1999 setelah
vaksin ini menyebabkan hampir 100 reaksi buruk yang serius dan sedikitnya satu
kematian. (Halsel, Neal. Testimony of October 1999 the House Committee on
Government Reform, www.house.gov/reform/hearings/healthcare/99.10.12/halsey.html)
Imunisasi
Masal akibatkan lebih banyak penyakit
Fakta
banyak yang tidak diketahui para ilmuwan tentang cara kerja vaksin di dalam
tubuh di tingkat sel dan molekul. Demikian juga efek jangka panjang dari
dilanjutkannya vaksinasi masal kepada anak-anak. Sejak akhir tahun 1950-an, ketika
vaksinasi masal mulai diwajibkan di AS, telah terjadi peningkatan insidensi
kelainan sistem imun dan persyarafan, termasuk kesulitan memusatkan perhatian,
asma, autisme, diabetes anak-anak, sindrom keletihan menahun, kesulitan
belajar, rematoid arthritis, multipel sklerosis, dan masalah kesehatan yang
menahun lainnya. “Angka asma dan kesulitan memusatkan perhatian naik 2 kali
lipat, diabetes dan gangguan belajar naik 3 kali lipat dan sebagian besar
negara bagian mengalami lebih dari 300% peningkatan autisme,” kata Barbara
Loe Fisher, salah satu pendiri dan presiden Sentra Informasi Vaksin Nasional,
suatu organisasi nirbala terbesar dan terlama yang mengabdikan diri untuk
pencegahan cedera dan kematian akibat vaksin. Banyak para ahli dan orangtua
meyakini, masalah kesehatan menahun ini akibat serangan yang berkelanjutan
terhadap sistem imun bayi dan anak akibat dari suntikan-suntikan virus, bakteri
dan berbagai bahan racun lewat imunisasi. (Fisher, barbara Loe, “Shots in
the dark”, The Next City (Summer 1999):39ff)
Iklan
Vaksin Dosis Ganda pada Bayi
Satu
suntikan lima penyakit sekaligus? Setelah kelahiran bayi Anda, orangtua
biasanya mengantarkan bayinya untuk diimunisasi. Bayangkan betapa sibuknya Anda
dan kasihan si kecil harus disuntik berulang kali. Namun kini tersedia solusi
bagi masalah tersebut. Anak Anda bisa memperoleh vaksin sesuai jadwal, tanpa
harus disuntik berulangkali. Setiap ibu tentunya ingin memberikan yang terbaik
untuk bayinya. Apalagi dalam memberikan vaksinasi dasar untuk mencegah
penyakit. Ada 7 penyakit utama yang sering menjadi penyebab bahkan kematian
bayi, yaitu tuberkulosa, campak, difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan),
polio dan meningitis (radang selaput otak). Vaksinasi dosis ganda (kombinasi)
adalah vaksin yang terdiri dari beberapa bibit penyakit yang dilemahkan, yang
dimaksudkan untuk dapat mencegah beberapa penyakit misalnya, meningitis yang
disebabkan oleh bakteri Hib, polio dan dengan vaksin kombinasi 5 in 1 dapat
mengurangi jumlah suntikan pada bayi, dan juga memudahkan para ibu yang sibuk. (Sanofi
pasteur the vaccines business of sanofi aventis group, 9 months magazine, maret
2008. hal 5). Inilah salah satu promosi dari produk vaksinasi yang ada di
tengah masyarakat sekarang ini.
Fakta
Dosis Ganda
Fakta yang terjadi ketika dosis ganda diberikan adalah
sebagai berikut. Dosis ganda adalah tindakan yang bisa menyebabkan masalah
serius bagi anak-anak. Memang masuk akal, semakin banyak benda asing bahan
penyebab penyakit, maka semakin besar kemungkinan terjadinya reaksi buruk yang
tidak diharapkan. Tetapi ada orang-oranag yang beranggapan bahwa dosis ganda
vaksin adalah tindakan yang bijaksana.
Sentra Pengendalian Penyakit (CDC) bersiteguh bahwa
penggabungan vaksinasi akan menghemat waktu dan biaya bagi orangtua, serta
kurang menimbulkan trauma trauma pada anak. Tetapi apakah semua penghematan ini
layak untuk mengorbankan kemungkinan mencederai seorang anak? Paling sedikit
seorang petugas pemerintah tidak berpikir demikian. Anggota kongres Dan
Burton, R-Ind yang mengetuai Komite untuk Reformasi Pemerintah dari Dewan
Perwakilan AS yang telah mengamati isu keamanan vaksin, mempunyai 2 cucu yang
mendapatkan reaksi buruk dari vaksin. Cucu perempuannya hamper meninggal
setelah menerima vaksin hepatitis B. Dan cucu laki-lakinya menjadi autistik setelah
disuntik dosis ganda pada suatu hari yang sama. (Burton, Dan, Statements,
Koch,Cq Researcher, hal 654)
Ada Apa dengan Dosis ganda?
Marcel Kinsbourne,MD, spesialis syaraf anak-anak dan professor peneliti pada sentra untuk
Kajian Kognitif pada Universitas Tufts, mengungkapkan kekhawatirannya tentang
keamanan dosis ganda vaksin kepada komite untuk reformasi pemerintah dari Dewan
Perwakilan AS. Dr. Kinsbourne mengatakan, “Ketika beberapa vaksin diberikan
sekaligus, vaksin-vaksin tersebut bisa menimbulkan efek buruk.” Pemberian
dosis ganda sering terjadi terutama pada bayi. Misalnya vaksin campak dan
gondong yang diberikan secara bersamaan di dalam vaksin MMR. Ada dugaan bahwa
kombinasi ini menimbulkan penyakit radang usus dan kemunduran perkembangan ke
status autistik pada beberapa anak di tahun kedua kehidupannya. Salah satu
kekhawatiran yang menonjol di antara para kritikus yang menentang dosis ganda
adalah kenyataan bahwa vaksin kombinasi dari yang sudah ada di pasar (misalnya
MMR, DPT/DaPT). Salah satu rencananya adalah menambahkan vaksin varicella
kepada vaksin MMR. Rencana lain adalah mengembangkan vaksin super, yang
mengandung bahan genetik lebih dari 20 virus, bakteri, dan organisme penyebab
penyakit lainnya dalam satu bentuk oral (yang ditelan) yang diberikan pad saat
lahir. (Kinsbourne, Marcel. Testimony of August 3, 1999 before the House
Committee on Government Reform)
Dosis Ganda pada Orang Dewasa
Bahaya dosis ganda juga berlaku bagi orang dewasa.
Vaksinasi missal sering terjadi pada orang dewasa di kalangan militer, dan
kasus perang teluk pada tahun 1995, bisa menjadi contoh yang baik, tentara AS
yang dikirim ke perang menerima 17 vaksin, yang berbeda ditambah suatu obat
percobaan. Mungkinkah serangan masal pada sistem ini merupakan penyebab dari
puluhan ribu tentara yang beberapa tahun kemudian mengalami sindroma perang
teluk? Ahli mikrobiologi Howard Urnovitz, Phd, percaya bahwa itulah yang
terjadi. Ia berkata bahwa “vaksin-vaksin itu melemahkan sistem imun, membuat
para tentara peka terhadap racun, dan infeksi pada lingkungan.” Gejala dari sindroma perang teluk termasuk
nyeri sendi dan otot yang menahun, ruam, sakit kepala, keletihan, hilangnya
ingatan, perubahan kepribadian, diare, gangguan tidur dan ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi. Urnovitz menganalisis darah banyak veteran perang teluk dan
menemukan bahwa 50% dari mereka memiliki RNA yang abnormal, yang menunjukkan
bahwa telah terjadi perubahan kromosom. Kelompok kontrol yang sehat dan bukan
militer tidak menunjukkan ke abnormalan seperti ini. Perubahan seperti ini bisa
terjadi akibat kontak dengan virus, bakteri, atau racun kimia. Perubahan
kromosom yang spesifik pada para veteran perang ini telah dikaitkan dengan
penyakit auto-imun seperti rematoid arthritis dan kanker. (Unovitz, Howard,
Statements, Koch, CQ Researcher, hal 652)
Vaksin Rotavirus
Rotavirus adalah penyebab utama diare, pada bayi dan
anak kecil. Pada saat anak mencapai usia 5 tahun mereka mungkin sedikitnya
telah mendapatkan 1 inveksi rotaviris. Tetapi jumlah kasus terbesar dan resiko
terbesar adalah pada anak-anak berusia 6 s/d 24 bulan. Rotavirus telah membunuh
sekitar 30 anak setiap tahunnya di AS. Pada bulan Maret 1998, Komite Penasehat
untuk Praktek Imunisasi (ACIP) dari Sentra Pengendalian Penyakit menyetujui
vaksin rotavirus hidup yang dibuat secara genetikal, dengan menggabungkan jenis
rotavirus manusia dengan jenis rotavirus monyet. Persetujuan FDA menyusul pada
tanggal 31 Agustus 1998. Penelitian selama hampir 20 tahun menyebabkan saat
monumental ini. Tetapi kegembiraan segera berubah menjadi kekhawatiran dan
ketakutan. Pada bulan November 1999, vaksin ditarik dari pasar karena dikaitkan
dengan 99 laporan sumbatan usus yang jarang terjadi disebut “Intussuscevition”
dan paling sedikit satu kematian pada bayi, tanpa perawatan yang benar, yang
bisa termasuk pembedahan kondisi ini dapat mematikan. June Orient, M.D,
direktur pelaksanaan dari Asosiasi Dokter dan Ahli Bedah AS (AAPS),
mempertanyakan mengapa vaksin ini pada awalnya disetujui. Dalam suatu pertemuan
terbuka dengan para wartawan, ia bertanya apa yang mereka FDA dan CDC ketahui
dan kapan mereka mengetahuinya? AAFS telah mempelajari laporan-laporan dan
telah menyimpulkan bahwa FDA dan CDC tidak mempedulikan atau menyembunyikan
data yang menunjukkan masalah sejak awal. Ia bertanya-tanya apakah vaksin
rotavirus hanyalah puncak dari gunung es dan apakah vaksin-vaksin lain telah
dipaksaka tanpa pengetesan keamanan yang memadai? Ia percaya bahwa tragedy vaksin
rotavirus mungkin tidak akan pernah terjadi jika masyarakat memiliki akses
kepada data yang digunakan oleh FDA dan CDC. Dalam menganjurkan vaksin ini.
Apakah ini kahir dari vaksin rotavirus? Para peneliti sedang mengerjakan suatu
vaksin lain, tetapi mengingat kenyataan pahit yang ditimbulkan oleh vaksin
sebelumnya, maka mungkin baru bertahun-tahun lagi vaksin akan dilepaskan. (Rotavirus
informasi, lihat : www.pcc.com/list/pedtalk.archive/9909/0091.html;morbidity
and Mortality Weeklyn Report, 16 Juli, 1999, pada www.cdc.gov.epo/mmwr/preview/mmwrhtm/mm4827
al.htm; dan Mitchael Devitt.”CDC Pulls the plug on Rotavirus Vaccine,”
pada www.chiroweb.com/archives17/24/04.html).
Bagaimaa Vaksinasi yang Diajarkan Rasul?
Minimal pada hari kke-7 setelah lahir, bayi ditahnik, dimasukkan kurma yang telah dikunyah oleh orangtuanya ke langit-langit bagian atas mulut bayi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar