BID’AH
A. PENGERTIAN BID’AH
1. Bid'ah Menurut Bahasa
Bid’ah dari segi bahasa berasal dari kata بَدَعَ
– بَدْعًا
artinya وابْتَدَعَ
الشَّىءَ artinya mendirikan
atau membuat.
البِدْعَةُ artinya مَااُحْدِثَ لاَ عَلىَ
مِثَالٍ سَابِقٍ
ciptaan baru yang sebelumnya
tidak pernah ada.
Seperti firman Allah Ta’ala :
بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya:
"Jadilah". Lalu jadilah ia.” (Q.S al-Baqarah : 117)
Maksudnya Allah menjadikan langit dan bumi tanpa ada
contoh sebelumnya.
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى
إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ
Katakanlah: "Aku
bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa
yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain
hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah
seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.” (Q.S. al-Ahqaaf : 9)
Ibnu Abbas ra pernah menyinggung hal ini dengan
mengatakan :
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ
عَامٌ إِلاَّ أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً حَتَّى
تَحْيَا الْبِدْعَةُ وَتَمُوْتَ السُّنَّةُ
“Tidaklah datang suatu tahun kepada umat
manusia kecuali mereka membuat-buat sebuah bid’ah (seautau yang baru) di
dalamnya dan mematikan as-Sunnah, hingga hiduplah bid’ah dan matilah as-Sunnah.”
2. Bid'ah Menurut Istilah
قال
الإمام الشاطبي : اَلْبِدَعَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ
مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ
فِي التَّعَبُّدِ لِلّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Menurut Imam Syatibhi, “Bid’ah ialah gambaran suatu cara
yang diada-adakan dalam urusan agama yang menyerupai syari’at, tujuan utamanya
supaya bersungguh-sungguh berbakti kepada Allah SWT.”
اَلْبِدَعَةُ : طَرِيْقَةٌ فِى
الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ , يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ
عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشِّرْعِيَّةِ
Bid'ah adalah : Satu cara yang diada-adakan dalam urusan
agama yang menyerupai syariat, tujuan utamanya sama dengan tujuan melakukan
syariat. (Imam Syathibi dalam Al I'tisham (I/37)
هِيَ الْأَمْرُ الْمُحْدَثُ فِى
الدِّيْنِ عَقِيْدَةً أَوْ عِبَادَةً أَوْ صِفَةً لِلْعِبَادَةِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا
رَسُوْلُ اللهِ صلعم
Bid’ah ialah urusan yang diada-adakan dalam agama, baik
berupa aqidah, ibadah, atau cara ibadah, yang tidak terjadi di zaman Rasulullah
saw.
وَالْبِدَعَةُ : اَلْحَدَثُ فِي الدِّيْنِ
بَعْدَ الْإِكْمَالِ أَوْ مَا اسْتُحْدِثَ بَعْدَ النَّبِيِّ صلعم مِنَ الْأَهْوَاءِ
وَالْأَعْمَالِ
Bid'ah adalah hal-hal yang baru dalam agama setelah mana
agama itu sempurna atau bid’ah itu adalah apa-apa yang diada-adakan setelah
Rasul tiada, baik berupa aturan, maupun perbuatan.
Keterangan :
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur
bid’ah itu ada tiga :
1. Bid’ah itu adalah mengada-ada sesuatu dalam
agama, baik aturan, ketentuan atau tradisi keagamaan yang tidak dicontohkan
oleh Nabi dan bukan mengada-ada atau menciptakan yang baru dalam urusan
keduniaan.
2. Pelaksanaan
bid’ah tersebut menyerupai ketentuan agama dalam tatacaranya, dan tentu juga
diniatkan untuk mendapatkan pahala.
3. Tujuan bid’ah itu ialah untuk memantapkan
pengabdian kepada Allah.
Contoh : Upacara hajat karena sudah hamil 7 bulan. Di kalangan orang
sunda disebut Hajat Tingkeban. Upacara tersebut dilakukan dengan niat
syukur kepada Allah SWT dan dengan cara yang telah ditentukan, seperti halnya
ketentuan agama yaitu pada saat ke-7 bulan dalam kandungan dengan memakai bunga
(kembang), samping 7 macam dan lain sebagainya yang semuanya itu seperti halnya
aturan agama.
B. QAIDAH :
Saking bahayanya bid’ah maka para ulama telah membuat
qa’idah atau rumusan seperti :
تَرْكُ مَا نُرِيْبُ سُنَّتَهُ خَيْرٌ
مِنْ فِعْلِ مَا نَخَافُ بِدْعَتَهُ
“Meninggalkan apa yang
diragukan kesunnahannya lebih baik daripada mengerjakan sesuatu yang
dikhawatirkan jatuh kepada perbuatan bid’ah.”
Keterangan :
Mengerjakan bid’ah itu berbahaya,
sedang meninggalkan yang sunnat, tidak ada sangsinya. Maka andaikan ada suatu
perbuatan ibadah yang masih diragukan sunnahnya, lebih baik ditinggalkan
daripada dikerjakan yang khawatir akan jatuh kepada perbuatan bid’ah.
Contoh :
Shalat qabla jum’ah. Shalat qabla jum’ah itu diragukan kesunnahannya. Andaikata
tidak dilaksanakan dan ternyata sunnat, maka kita hanya tidak mendapat pahala.
Akan tetapi sebaliknya, manakala dikerjakan dan ternyata bid’ah maka lebih
berbahaya.
C. KASUS PERBUATAN BID’AH PERNAH
AKAN TERJADI PADA ZAMAN NABI :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ
الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا
وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا
فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا
أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا
فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ
لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi saw. untuk
menanyakan tentang ibadah beliau, maka ketika mereka diberitahukan tentang itu,
seakan mereka menganggap sedikit, maka mereka berkata "dimana posisi kita
dari Nabi saw. sedangkan Allah telah mengampunkan dosanya yang telah silam dan
yang akan datang?" Maka seorang diantara mereka berkata, "Adapun
saya maka saya akan shalat sepanjang malam!" dan yang lain berkata,
"Saya akan shaum selamanya dan tidak akan pernah meninggalkannya",
sedang yang lain berkata, "Saya akan membujang dan tidak akan menikah
selamanya". Maka datanglah Rasulullah saw. lalu berkata "Kalian
mengatakan demikian dan demikian?" Demi Allah sesungguhnya aku adalah
orang yang paling takut diantara kalian kepada Allah dan yang paling bertakwa
diantara kalian kepada- Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, dan aku juga shalat
dan tidur, dan aku juga menikah. Maka barang siapa yang tidak suka kepada sunnahku,
dia bukan golonganku.” (H.R al-Bukhari)
Keterangan :
جاء ثلاثة رهط =
علي بن أبي طالب وعبد الله بن عمرو بن العاص وعثمان
بن مَظْعُوْن
1.
Yang dimaksud “datang tiga orang” ialah ‘Ali bin Abi Thalib,
‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan ‘Utsman bin Mazh’un
فَلَيْسَ مِنِّي =
لَيْسَ عَلَى مِلَّتِي,
والْمُرَادُ مِنْ تَرْكُ طَرِيْقَتِي وَأَخَذَ بِطَرِيْقَةِ غَيْرِي
2. Yang dimaksud “Falaisa minni” ialah
bukan dari ajaranku (Islam), maksudnya ialah meninggalkan jalanku (Nabi) dan
mengambil/mengikuti jalan yang lain.
3. Mengapa Rasulullah saw sangat marah kepada
para shahabat tadi? Bukankah yang dilakukan shahabat adalah baik? Shahabat
melakukan itu hanya untuk meningkatkan ibadah dan kedekatan kepada Allah SWT
serta mengharap ridha Allah semata??. Tapi justru Nabi melarang shahabat
melakukan seperti itu. Malah mengancam bahwa jika shahabat tetap melakukan
amalan tersebut maka diacam dengan kalimat “Maka barang siapa yang tidak
suka kepada sunnahku, dia bukan golonganku.”
Hadits ini menjelaskan bahwa ajaran Nabi sudah cukup,
tidak boleh ditambah lagi walaupun menurut kita itu baik, meskipun untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
D. KAEDAH MENGHADAPI BID'AH
1. Meyakini
Bahwa Agama Islam Sudah Sempurna, Tidak Perlu Ditambah atau Dikurangi.
Allah swt berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku
untukmu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (Q.S.
al-Maidah : 3)
2. Tidak Mengerjakan Apupun yang Berkaitan dengan
Ibadah tanpa Adanya Perintah untuk Melakukannya.
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut
bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S.
al-Ahzab : 36)
الاَصْلُ فِىالْعِبَادَةِ الْبُطْلاَنُ
حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلُ عَلَى الْاَمْرِ
“Hukum pokok tentang Ibadah adalah tertolak (batal/tidak boleh
dilakukan) sehingga ada dalil yang memerintahkan.”
Maksudnya tidak boleh kita
melakukan sesuatu yang menurut kita ibadah jika tidak ada dalil/nash yang
sharih dan shahih dari Allah dan Rasul-Nya.
Seperti tidak boleh melakukan Tahlilan, Perayaan Maulid
Nabi, Nuzulul Quran, Ulang tahun, Qunut Shubuh, Ibadah Nishfu Sya’ban, dan lain
sebagainya jika Tidak ada Dalil/Nash/Keterangan dari Allah dan Rasul-Nya.
3. Tidak Menggunakan Hadits-Hadits
Dhaif untuk Beramal.
اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْعَمَلِ
بِالضَّعِيْفِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ :
Telah berbeda pendapat para
ulama dalam menggunakan hadits dha’if menjadi tiga pendapat :
Pendapat Pertama :
اَلْمَذْهَبُ
الْأَوَّلُ : لَا يُعْمَلُ بِهِ مُطْلَقًا, لَا فِي الْفَضَائِلَ وَلَا فِي الْأَحْكَامِ.
حَكَاهُ ابْنُ سَيِّدِ النَّاسِ عَنْ يَحْيَى بْنِ مَعِيْنٍ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ
أَبُوْ بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِي, وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ مَذْهَبُ الْبُخَارِيِّ
وَمُسْلِمٍ
Tidak boleh menggunakan hadits dha’if secara mutlak,
baik dalam fadhail (keutamaan amal) maupun yang menyangkut hukum. Demikian yang
disampaikan Ibnu Sayyid an-Nas dari Yahya bin Ma’in, dan demikian juga pendapat
Abu Bakar bin ‘Arabi. Dan yang jelas pendapat ini adalah pendapat Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim.
Pendapat Kedua :
اَلْمَذْهَبُ
الثَّانِى : أَنَّهُ يُعْمَلُ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مُطْلَقًا. وَعَزَّى هَذَا
إِلَى أَبِى دَاوُدَ وَالْإِمَامِ أَحْمَدَ, وَأَنَّهُمَا يَرَيَانِ ذَلِكَ أَقْوَى
مِنْ رَأْيِ الرِّجَالِ
Boleh menggunakan hadits dha’if secara mutlak. Pendapat
ini dinisbatkan kepada Abu Dawud dan Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits
dha’if itu lebih kuat daripada pendapat seseorang.
Pendapat Ketiga :
اَلْمَذْهَبُ الثَّالِثُ : أَنَّهُ
يُعْمَلُ فِي الْفَضَائِلِ وَالْمَوَاعِظِ وَنَحْوَ ذَلِكَ, إِذَا تَوَفَّرَتْ لَهُ
بَعْضُ الشُّرُوْطِ وَهِيَ :
-
أَنْ
يَكُوْنَ الضَّعْفُ غَيْرَ شَدِيْدٍ
-
أَنْ
يَنْدَرِجَ تَحْتَ أَصْلٍ مَعْمُوْلٍ بِهِ
-
أَنْ
لَا يَعْتَقِدُ عِنْدَ الْعَمَلِ بِهِ ثُبُوْتَهُ بَلْ يَعْتَقِدُ الْإِحْتِيَاطَ
Bahwa hadits dha’if itu dapat diamalkan dalam Fadhailul
Amal, nasihat-nasihat dan lain sebagainya. Apabila memenuhi persyaratan di
bawah ini :
- Derajat kedha’ifannya itu tidak terlalu berat.
- Termasuk dalam pokok-pokok yang dapat diamalkan.
- Hendaknya pada saat mengamalkannya tidak meyakini
keshahihannya, melainkan hanya untuk berhati-hati saja.
Kesimpulan :
لَاشَك!َ
أَنَّ الْمَذْهَبَ الْأَوَّلَ مِنْ أَسْلَمَ الْمَذَاهِبِ وَلَدَيِنَا مِمَّا صَحَّ
فِي الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ مِنْ جَوَامِعِ كَلِمَ الْمُصْطَفَى
صلعم ثَرْوَةً يُعْجِزُ الْبَيَانَ عَنْ وَصْفِهَا وَهِيَ تُغْنِيْنَا عَنْ رِوَايَةِ
الْأَحَادِيْثِ الضَّعِيْفَةِ فِي هَذَا الْبَابِ وَبِخَاصَةِ أَنَّ الْفَضَائِلَ
وَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ مِنْ دَعَائِمِ الدِّيْنِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ
الْأَحْكَامِ مِنْ حَيْثَ ثُبُوْتُهَا بِالْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ أوِ الْحَسَنِ.
فَمِنَ الْوَاجِبِ أَنْ يَكُوْنَ مَصْدَرُهَا جَمِيْعًا الأَخْبَارَ
الْمَقْبُوْلَةَ
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat pertama adalah
pendapat yang paling selamat. Sesungguhnya kita mempunyai hadits-hadits yang
shahih tentang keutamaan, perangsang, dan peringatan dari himpunan sabda-sabda
Nabi yang cukup banyak dan tidak perlu dijelaskan lagi sini tentang sifat-sifat
hadits tersebut. Hadits-hadits tersebut telah cukup bagi kita hingga tidak
perlu mengambil hadits-hadits yang dha’if dalam hal ini. Teristimewa
keutamaan-keutamaan, serta akhlaq mulia –termasuk pokok-pokok agama- tidak ada
perbedaan antara hadits-hadits yang mengenai akhlaq dan yang terkait dengan
masalah hukum, kedua-duanya mesti berdasar hadits shahih atau hasan. Adalah
suatu keharusan rujukan semua itu adalah hadits yang maqbul (dapat diterima). (Ushul
al-Hadits : 352)
4. Memahami Syari'at sesuai dengan Pemahaman para
sahabat dan orang-orang yang mengikutinya.
Rasulullah saw bersabda :
عن
العرباض بن سارية صلعم قال : قال رسول الله صلعم : أُوْصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبْشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbadh bin Sariyah ra. Berkata, Rasulullah saw
bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu agar taqwa kepada Allah, patuh serta taat
(kepada pemimpinmu) sekalipun dia orang Habsyi. Sungguh siapa saja yang hidup
diantaramu setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Hendaklah kamu pegang
teguh sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang
teguhlah terhadapnya dan genggamlah sunnahku itu dengan gigi gerahammu.
Hendaklah kamu berhati-hati terhadap perkara yang diada-adakan, karena setiap
yang diada-adaka itu bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat.” (H.R Ahmad)
Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Dari Imran bin Husain,
Rasulullah saw bersabda :
خَيْرُكُمْ
قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ
لَا أَدْرِي أَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ
قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَشْهَدُونَ وَلَا
يُسْتَشْهَدُونَ وَيَنْذِرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ
“Sebaik-baiknya umatku adalah mereka yang
hidup pada zamanku, kemudian generasi yang sesudahnya. Imran berkata : Aku
tidak tahu apakah Rasulullah menyebut sesudah itu dua atau tiga generasi",
kemudian sesungguhnya sesudah itu ada satu kaum yang bersyahadat, tetapi tidak
ingin mati syahid, mereka berkhianat dan mereka tidak bisa dipercaya, mereka
bernadzar tetapi mereka tidak
memenuhinya dan mereka tampak gemuk-gemuk.”
Kesimpulan :
Syariat adalah tolak
ukur dalam mengerjakan amal ibadah bukan logika dan bukan juga hawa Nafsu.
Contoh :
عَنْ
عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ
أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
Dari Ali bin Abi Thalib ra ia berkata, “seandainya
agama itu dengan ra’yu (pendapat/akal) niscaya bagian bawah khuf (sepatu) lebih
berhak diusap dari pada bagian atasnya. Dan sungguh saya melihat Rasulullah saw
mengusap bagian luar kedua khufnya.” (H.R Abu Dawud)
عَنْ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ
فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ
وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
Dari Umar ra ia berkata ketika mencium hajar
Aswad, “Sesungguhnya saya mengetahui kamu adalah batu yang tidak mendatangkan
madharat juga tidak mendatangkan manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah
saw menciummu niscaya sayapun tidak akan menciummu.”
(H.R al-Bukhari)
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ
عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ
أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ
الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw
bersabda, "Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang menolak",
kemudian para shahabat bertanya siapa yang menolak itu wahai Rasulullah?
Rasulullah saw menjawab, "Barang siapa yang ta’at (ikut) kepadaku pasti
masuk surga dan barang siapa yang menyelisihiku itulah mereka yang menolak
(tidak akan masuk surga)".(H.R al-Bukhari)
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ .قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ
وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah:
Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Ali Imran : 31-32)
E. PERINGATAN KERAS TERHADAP PERBUATAN BID’AH
1. Perbuatan Bid’ah adalah
Sesat dan Pelakunya Diancam Masuk Neraka
أَخْبَرَنَا
عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ
سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ
يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا
هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ
هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Dari Jabir bin ‘Abdillah
ra. Berkata, “Adalah Rasulullah saw manakala khuthbah, beliau memuji dan
meninggikan Allah …… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah, dan
sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek urusan adalah
perbuatan bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat
da setiap yang menyesatkan pasti di dalam neraka.”
(H.R Muslim)
وَشَرُّ
الْأُمُورِ =
setiap pekerjaan yang bertentangan dengan AL Qur'an dan petunjuk Muhammad
شَرُّ = buruk, jelek , kejelekan
مُحْدَثَةٍ = yang di ciptakan, yang baru
Dari hadits tadi kita dapat melihat bahwa bid'ah itu
adalah setiap perkara yang bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah.
عن
العرباض بن سارية صلعم قال : قال رسول الله صلعم : أُوْصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبْشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbadh bin Sariyah ra. Berkata, Rasulullah saw
bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu agar taqwa kepada Allah, patuh serta taat
(kepada pemimpinmu) sekalipun dia orang Habsyi. Sungguh siapa saja yang hidup
diantaramu setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Hendaklah kamu pegang
teguh sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang
teguhlah terhadapnya dan genggamlah sunnahku itu dengan gigi gerahammu.
Hendaklah kamu berhati-hati terhadap perkara yang diada-adakan, karena setiap
yang diada-adaka itu bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat.” (H.R Ahmad)
2. Tertolaknya Pelaku Bid’ah
dari Telaga Rasul
عن سهل بن سعد قال : قال النبي صلعم : إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ
مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأُ أَبَدًا لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ
قَوْمٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُوْنَنِى ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِى وَبَيْنَهُمْ ... فَأَقُوْلُ
إِنَّهُمْ مِنِّى فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ فَأَقُوْلُ
سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِى
Dari Sahl bin Sa’ad ra berkata, Nabi bersabda, “Aku
mendahuluimu di sebuah telaga. Siapa yang lewat pasti minum, dan siapa yang
minum pasti tidak akan haus selama-lamanya. Sungguh akan datang padaku suatu
kaum yang aku kenal mereka dan merekapun kenal aku, kemudian dihalangi antaraku
dengan mereka, maka aku berkata : Ya Allah, mereka adalah umatku –kemudian
dikatakan- (hai Muhammad) engkau tidak tahu apa yang mereka ada-adakan
setelahmu. Aku (Nabi) berkata : Jauh! Jauhlah bagi orang yang mengubah agama
setelahku.” (H.R al-Bukhari)
3. Pelakunya Dilaknat Allah,
Malaikat dan Semua Manusia
عن أنس رع قال : قال رسول الله صلعم : مَنْ غَشَّ أُمَّتِي فَعَلَيْهِ
لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ, قِيْلَ يَارَسُوْلَ
اللهِ وَمَا الْغَشُّ؟ قَالَ : أَنْ يَبْتَدِعَ بِدْعَةً فًيَعْمَلُ بِهَا
Dari Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa
yang menipu terhadap umatku, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan semua
manusia. Rasulullah saw ditanya : Wahai Rasulullah apakah Gasy itu? Beliau
menjawab : Mengada-adakan bid’ah serta mengamalkannya.” (H.R ad-Daruquthni)
4. Amalan Pelaku Bid’ah Pasti
Ditolak
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aisyah ra
berkata, Rasulullah saw telah bersabda, “Barangsiapa yang membuat-buat hal
baru dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada perintah
dari kami, maka ia (amalan) itu pasti ditolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dan riwayat Muslim yang lain, beliau bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melaksanakan suatu amalan (ibadah)
yang tidak ada perintah dari kami, maka pekerjaan itu pasti ditolak.”
5. Bid’ah Bisa Mematikan Sunnah
Perbuatan bid’ah juga akan mengakibatkan terhapusnya dan
hilangnya syi’ar-syi’ar As-Sunnah dalam kehidupan umat Islam. Hal ini
disebabkan tidak ada satupun bid’ah yang muncul dan menyebar melainkan sebuah
sunnah akan mati bersamanya, sebab pada dasarnya bid’ah itu tidak akan muncul
kecuali bila As-Sunnah telah ditinggalkan. Sahabat Nabi yang mulia, Ibnu Abbas
Rahimahullaah pernah menyinggung hal ini dengan mengatakan:
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ
عَامٌ إِلاَّ أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً حَتَّى
تَحْيَا الْبِدْعَةُ وَتَمُوْتَ السُّنَّةُ
“Tidaklah datang suatu tahun kepada ummat
manusia kecuali mereka membuat-buat sebuah bid’ah di dalamnya dan mematikan as-Sunnah,
hingga hiduplah bid’ah dan matilah as-Sunnah.”
6. Bid’ah Adalah Amalan Yang Disenangi Syetan
عن أبي
بكر الصديق رع قال : إِنَّ رسول الله صلعم قال : إِنَّ إِبْلِيْسَ قال :
أَهْلَكْتُهُمْ بِالذُّنُوْبِ فَأَهْلَكُوْنِي بِالْإِسْتِغْفَارِ فَلَمَّا
رَأَيْتُ ذَلِكَ أَهْلَكْتُهُمْ بِالْأَهْوَاءِ فَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ
مُهْتَدُوْنَ فَلَا يَسْتَغْفِرُوْنَهُ
Dari Abu Bakar
ash-Shidiq ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda bahwa iblis berkata : “Aku
membinasakan manusia dengan dosa, dan mereka membinasakanku dengan istighfar.
Ketika aku melihat itu, aku binasakan mereka dengan keinginan melakukan
pekerjaan bid’ah, agar mereka mengira mereka mendapat petunjuk yang benar, maka
akibatnya mereka tidak memohon ampunan kepada Allah (karena merasa tidak
salah).” (H.R Ibnu Abi ‘Ashim)
Imam Sufyan Ats-Tsaury berkata :
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى
إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ. اَلْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ
يُتَابُ مِنْهَا
"Bid’ah itu lebih disenangi oleh syaitan dari
pada perbuatan maksiat, karena perbuatan maksiat itu (pelakunya) dapat
bertaubat (karena bagaimanapun ia meyakini bahwa perbuatannya adalah dosa)
sedangkan bid’ah (pelakunya) sulit untuk bertaubat (karena ia melakukannya
dengan keyakinan hal itu termasuk ajaran agama, bukan dosa)."