Rabu, 28 Desember 2011

BID'AH


BID’AH
A.  PENGERTIAN BID’AH
1.   Bid'ah Menurut Bahasa
Bid’ah dari segi bahasa berasal dari kata بَدَعَبَدْعًا  artinya وابْتَدَعَ الشَّىءَ artinya mendirikan atau membuat.
البِدْعَةُ artinya مَااُحْدِثَ لاَ عَلىَ مِثَالٍ سَابِقٍ  ciptaan baru yang sebelumnya tidak pernah ada.
Seperti firman Allah Ta’ala :
بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia.” (Q.S al-Baqarah : 117)
Maksudnya Allah menjadikan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ
Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.” (Q.S. al-Ahqaaf : 9)
Ibnu Abbas ra pernah menyinggung hal ini dengan mengatakan :
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلاَّ أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً حَتَّى تَحْيَا الْبِدْعَةُ وَتَمُوْتَ السُّنَّةُ
“Tidaklah datang suatu tahun kepada umat manusia kecuali mereka membuat-buat sebuah bid’ah (seautau yang baru) di dalamnya dan mematikan as-Sunnah, hingga hiduplah bid’ah dan matilah as-Sunnah.”
2.  Bid'ah Menurut Istilah
قال الإمام الشاطبي : اَلْبِدَعَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ لِلّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Menurut Imam Syatibhi, “Bid’ah ialah gambaran suatu cara yang diada-adakan dalam urusan agama yang menyerupai syari’at, tujuan utamanya supaya bersungguh-sungguh berbakti kepada Allah SWT.”
اَلْبِدَعَةُ : طَرِيْقَةٌ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ , يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشِّرْعِيَّةِ
Bid'ah adalah : Satu cara yang diada-adakan dalam urusan agama yang menyerupai syariat, tujuan utamanya sama dengan tujuan melakukan syariat. (Imam Syathibi dalam Al I'tisham (I/37)
هِيَ الْأَمْرُ الْمُحْدَثُ فِى الدِّيْنِ عَقِيْدَةً أَوْ عِبَادَةً أَوْ صِفَةً لِلْعِبَادَةِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلعم
Bid’ah ialah urusan yang diada-adakan dalam agama, baik berupa aqidah, ibadah, atau cara ibadah, yang tidak terjadi di zaman Rasulullah saw.
وَالْبِدَعَةُ : اَلْحَدَثُ فِي الدِّيْنِ بَعْدَ الْإِكْمَالِ أَوْ مَا اسْتُحْدِثَ بَعْدَ النَّبِيِّ صلعم مِنَ الْأَهْوَاءِ وَالْأَعْمَالِ
Bid'ah adalah hal-hal yang baru dalam agama setelah mana agama itu sempurna atau bid’ah itu adalah apa-apa yang diada-adakan setelah Rasul tiada, baik berupa aturan, maupun perbuatan.
Keterangan :
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur bid’ah itu ada tiga :
1.  Bid’ah itu adalah mengada-ada sesuatu dalam agama, baik aturan, ketentuan atau tradisi keagamaan yang tidak dicontohkan oleh Nabi dan bukan mengada-ada atau menciptakan yang baru dalam urusan keduniaan.
2.  Pelaksanaan bid’ah tersebut menyerupai ketentuan agama dalam tatacaranya, dan tentu juga diniatkan untuk  mendapatkan pahala.
3.  Tujuan bid’ah itu ialah untuk memantapkan pengabdian kepada Allah.
     Contoh : Upacara hajat karena sudah hamil 7 bulan. Di kalangan orang sunda disebut Hajat Tingkeban. Upacara tersebut dilakukan dengan niat syukur kepada Allah SWT dan dengan cara yang telah ditentukan, seperti halnya ketentuan agama yaitu pada saat ke-7 bulan dalam kandungan dengan memakai bunga (kembang), samping 7 macam dan lain sebagainya yang semuanya itu seperti halnya aturan agama.
B.  QAIDAH :
Saking bahayanya bid’ah maka para ulama telah membuat qa’idah atau rumusan seperti :
تَرْكُ مَا نُرِيْبُ سُنَّتَهُ خَيْرٌ مِنْ فِعْلِ مَا نَخَافُ بِدْعَتَهُ
“Meninggalkan apa yang diragukan kesunnahannya lebih baik daripada mengerjakan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh kepada perbuatan bid’ah.”
Keterangan :
Mengerjakan bid’ah itu berbahaya, sedang meninggalkan yang sunnat, tidak ada sangsinya. Maka andaikan ada suatu perbuatan ibadah yang masih diragukan sunnahnya, lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan yang khawatir akan jatuh kepada perbuatan bid’ah.
Contoh : Shalat qabla jum’ah. Shalat qabla jum’ah itu diragukan kesunnahannya. Andaikata tidak dilaksanakan dan ternyata sunnat, maka kita hanya tidak mendapat pahala. Akan tetapi sebaliknya, manakala dikerjakan dan ternyata bid’ah maka lebih berbahaya.
C.  KASUS PERBUATAN BID’AH PERNAH AKAN TERJADI PADA ZAMAN NABI :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi saw. untuk menanyakan tentang ibadah beliau, maka ketika mereka diberitahukan tentang itu, seakan mereka menganggap sedikit, maka mereka berkata "dimana posisi kita dari Nabi saw. sedangkan Allah telah mengampunkan dosanya yang telah silam dan yang akan datang?" Maka seorang diantara mereka berkata, "Adapun saya maka saya akan shalat sepanjang malam!" dan yang lain berkata, "Saya akan shaum selamanya dan tidak akan pernah meninggalkannya", sedang yang lain berkata, "Saya akan membujang dan tidak akan menikah selamanya". Maka datanglah Rasulullah saw. lalu berkata "Kalian mengatakan demikian dan demikian?" Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut diantara kalian kepada Allah dan yang paling bertakwa diantara kalian kepada- Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, dan aku juga shalat dan tidur, dan aku juga menikah. Maka barang siapa yang tidak suka kepada sunnahku, dia bukan golonganku.” (H.R al-Bukhari)
Keterangan :
 جاء ثلاثة رهط = علي بن أبي طالب وعبد الله بن عمرو بن العاص وعثمان بن مَظْعُوْن
1.  Yang dimaksud “datang tiga orang” ialah ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan ‘Utsman bin Mazh’un
 فَلَيْسَ مِنِّي = لَيْسَ عَلَى مِلَّتِي, والْمُرَادُ مِنْ تَرْكُ طَرِيْقَتِي وَأَخَذَ بِطَرِيْقَةِ غَيْرِي
2.  Yang dimaksud “Falaisa minni” ialah bukan dari ajaranku (Islam), maksudnya ialah meninggalkan jalanku (Nabi) dan mengambil/mengikuti jalan yang lain.
3.  Mengapa Rasulullah saw sangat marah kepada para shahabat tadi? Bukankah yang dilakukan shahabat adalah baik? Shahabat melakukan itu hanya untuk meningkatkan ibadah dan kedekatan kepada Allah SWT serta mengharap ridha Allah semata??. Tapi justru Nabi melarang shahabat melakukan seperti itu. Malah mengancam bahwa jika shahabat tetap melakukan amalan tersebut maka diacam dengan kalimat “Maka barang siapa yang tidak suka kepada sunnahku, dia bukan golonganku.
Hadits ini menjelaskan bahwa ajaran Nabi sudah cukup, tidak boleh ditambah lagi walaupun menurut kita itu baik, meskipun untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
D. KAEDAH MENGHADAPI  BID'AH
1.  Meyakini Bahwa Agama Islam Sudah Sempurna, Tidak Perlu Ditambah atau Dikurangi.
Allah swt berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (Q.S. al-Maidah : 3)
2.  Tidak Mengerjakan Apupun yang Berkaitan dengan Ibadah tanpa Adanya Perintah untuk Melakukannya.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. al-Ahzab : 36)
الاَصْلُ فِىالْعِبَادَةِ الْبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلُ عَلَى الْاَمْرِ
“Hukum pokok tentang Ibadah adalah tertolak (batal/tidak boleh dilakukan) sehingga ada dalil yang memerintahkan.”
Maksudnya tidak boleh kita melakukan sesuatu yang menurut kita ibadah jika tidak ada dalil/nash yang sharih dan shahih dari Allah dan Rasul-Nya.
Seperti tidak boleh melakukan Tahlilan, Perayaan Maulid Nabi, Nuzulul Quran, Ulang tahun, Qunut Shubuh, Ibadah Nishfu Sya’ban, dan lain sebagainya jika Tidak ada Dalil/Nash/Keterangan dari Allah dan Rasul-Nya.
3.  Tidak Menggunakan Hadits-Hadits Dhaif untuk Beramal.
اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْعَمَلِ بِالضَّعِيْفِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ :
Telah berbeda pendapat para ulama dalam menggunakan hadits dha’if menjadi tiga pendapat :
Pendapat Pertama :
اَلْمَذْهَبُ الْأَوَّلُ : لَا يُعْمَلُ بِهِ مُطْلَقًا, لَا فِي الْفَضَائِلَ وَلَا فِي الْأَحْكَامِ. حَكَاهُ ابْنُ سَيِّدِ النَّاسِ عَنْ يَحْيَى بْنِ مَعِيْنٍ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ أَبُوْ بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِي, وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ مَذْهَبُ الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ
Tidak boleh menggunakan hadits dha’if secara mutlak, baik dalam fadhail (keutamaan amal) maupun yang menyangkut hukum. Demikian yang disampaikan Ibnu Sayyid an-Nas dari Yahya bin Ma’in, dan demikian juga pendapat Abu Bakar bin ‘Arabi. Dan yang jelas pendapat ini adalah pendapat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Pendapat Kedua :
اَلْمَذْهَبُ الثَّانِى : أَنَّهُ يُعْمَلُ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مُطْلَقًا. وَعَزَّى هَذَا إِلَى أَبِى دَاوُدَ وَالْإِمَامِ أَحْمَدَ, وَأَنَّهُمَا يَرَيَانِ ذَلِكَ أَقْوَى مِنْ رَأْيِ الرِّجَالِ
Boleh menggunakan hadits dha’if secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Dawud dan Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits dha’if itu lebih kuat daripada pendapat seseorang.
Pendapat Ketiga :
اَلْمَذْهَبُ الثَّالِثُ : أَنَّهُ يُعْمَلُ فِي الْفَضَائِلِ وَالْمَوَاعِظِ وَنَحْوَ ذَلِكَ, إِذَا تَوَفَّرَتْ لَهُ بَعْضُ الشُّرُوْطِ وَهِيَ :
-      أَنْ يَكُوْنَ الضَّعْفُ غَيْرَ شَدِيْدٍ
-       أَنْ يَنْدَرِجَ تَحْتَ أَصْلٍ مَعْمُوْلٍ بِهِ
-       أَنْ لَا يَعْتَقِدُ عِنْدَ الْعَمَلِ بِهِ ثُبُوْتَهُ بَلْ يَعْتَقِدُ الْإِحْتِيَاطَ
Bahwa hadits dha’if itu dapat diamalkan dalam Fadhailul Amal, nasihat-nasihat dan lain sebagainya. Apabila memenuhi persyaratan di bawah ini :
- Derajat kedha’ifannya itu tidak terlalu berat.
- Termasuk dalam pokok-pokok yang dapat diamalkan.
- Hendaknya pada saat mengamalkannya tidak meyakini keshahihannya, melainkan hanya untuk berhati-hati saja.
Kesimpulan :
لَاشَك!َ أَنَّ الْمَذْهَبَ الْأَوَّلَ مِنْ أَسْلَمَ الْمَذَاهِبِ وَلَدَيِنَا مِمَّا صَحَّ فِي الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ مِنْ جَوَامِعِ كَلِمَ الْمُصْطَفَى صلعم ثَرْوَةً يُعْجِزُ الْبَيَانَ عَنْ وَصْفِهَا وَهِيَ تُغْنِيْنَا عَنْ رِوَايَةِ الْأَحَادِيْثِ الضَّعِيْفَةِ فِي هَذَا الْبَابِ وَبِخَاصَةِ أَنَّ الْفَضَائِلَ وَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ مِنْ دَعَائِمِ الدِّيْنِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْأَحْكَامِ مِنْ حَيْثَ ثُبُوْتُهَا بِالْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ أوِ الْحَسَنِ. فَمِنَ الْوَاجِبِ أَنْ يَكُوْنَ مَصْدَرُهَا جَمِيْعًا الأَخْبَارَ الْمَقْبُوْلَةَ
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang paling selamat. Sesungguhnya kita mempunyai hadits-hadits yang shahih tentang keutamaan, perangsang, dan peringatan dari himpunan sabda-sabda Nabi yang cukup banyak dan tidak perlu dijelaskan lagi sini tentang sifat-sifat hadits tersebut. Hadits-hadits tersebut telah cukup bagi kita hingga tidak perlu mengambil hadits-hadits yang dha’if dalam hal ini. Teristimewa keutamaan-keutamaan, serta akhlaq mulia –termasuk pokok-pokok agama- tidak ada perbedaan antara hadits-hadits yang mengenai akhlaq dan yang terkait dengan masalah hukum, kedua-duanya mesti berdasar hadits shahih atau hasan. Adalah suatu keharusan rujukan semua itu adalah hadits yang maqbul (dapat diterima). (Ushul al-Hadits : 352)
4. Memahami Syari'at sesuai dengan Pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya.
Rasulullah saw bersabda :
عن العرباض بن سارية صلعم قال : قال رسول الله صلعم : أُوْصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبْشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbadh bin Sariyah ra. Berkata, Rasulullah saw bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu agar taqwa kepada Allah, patuh serta taat (kepada pemimpinmu) sekalipun dia orang Habsyi. Sungguh siapa saja yang hidup diantaramu setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Hendaklah kamu pegang teguh sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah terhadapnya dan genggamlah sunnahku itu dengan gigi gerahammu. Hendaklah kamu berhati-hati terhadap perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adaka itu bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat.” (H.R Ahmad)
Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Dari Imran bin Husain, Rasulullah saw bersabda :
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ لَا أَدْرِي أَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَنْذِرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ
“Sebaik-baiknya umatku adalah mereka yang hidup pada zamanku, kemudian generasi yang sesudahnya. Imran berkata : Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebut sesudah itu dua atau tiga generasi", kemudian sesungguhnya sesudah itu ada satu kaum yang bersyahadat, tetapi tidak ingin mati syahid, mereka berkhianat dan mereka tidak bisa dipercaya, mereka bernadzar tetapi  mereka tidak memenuhinya dan mereka tampak gemuk-gemuk.”
Kesimpulan :
Syariat adalah tolak ukur dalam mengerjakan amal ibadah bukan logika dan bukan juga hawa Nafsu.
Contoh :
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
Dari Ali bin Abi Thalib ra ia berkata, “seandainya agama itu dengan ra’yu (pendapat/akal) niscaya bagian bawah khuf (sepatu) lebih berhak diusap dari pada bagian atasnya. Dan sungguh saya melihat Rasulullah saw mengusap bagian luar kedua khufnya.” (H.R Abu Dawud)
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
Dari Umar ra ia berkata ketika mencium hajar Aswad, “Sesungguhnya saya mengetahui kamu adalah batu yang tidak mendatangkan madharat juga tidak mendatangkan manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah saw menciummu niscaya sayapun tidak akan menciummu.” (H.R al-Bukhari)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang menolak", kemudian para shahabat bertanya siapa yang menolak itu wahai Rasulullah? Rasulullah saw menjawab, "Barang siapa yang ta’at (ikut) kepadaku pasti masuk surga dan barang siapa yang menyelisihiku itulah mereka yang menolak (tidak akan masuk surga)".(H.R al-Bukhari)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ .قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Ali Imran : 31-32)
E. PERINGATAN KERAS TERHADAP PERBUATAN BID’AH
1.   Perbuatan Bid’ah adalah Sesat dan Pelakunya Diancam Masuk Neraka
أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Dari Jabir bin ‘Abdillah ra. Berkata, “Adalah Rasulullah saw manakala khuthbah, beliau memuji dan meninggikan Allah …… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek urusan adalah perbuatan bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat  da setiap yang menyesatkan pasti di dalam neraka.” (H.R Muslim)
وَشَرُّ الْأُمُورِ = setiap pekerjaan yang bertentangan dengan AL Qur'an dan petunjuk Muhammad
شَرُّ = buruk, jelek , kejelekan
مُحْدَثَةٍ = yang di ciptakan, yang baru
Dari hadits tadi kita dapat melihat bahwa bid'ah itu adalah setiap perkara yang bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah.
عن العرباض بن سارية صلعم قال : قال رسول الله صلعم : أُوْصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبْشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbadh bin Sariyah ra. Berkata, Rasulullah saw bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu agar taqwa kepada Allah, patuh serta taat (kepada pemimpinmu) sekalipun dia orang Habsyi. Sungguh siapa saja yang hidup diantaramu setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Hendaklah kamu pegang teguh sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah terhadapnya dan genggamlah sunnahku itu dengan gigi gerahammu. Hendaklah kamu berhati-hati terhadap perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adaka itu bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat.” (H.R Ahmad)
2.  Tertolaknya Pelaku Bid’ah dari Telaga Rasul
عن سهل بن سعد قال : قال النبي صلعم : إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأُ أَبَدًا لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ قَوْمٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُوْنَنِى ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِى وَبَيْنَهُمْ ... فَأَقُوْلُ إِنَّهُمْ مِنِّى فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ فَأَقُوْلُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِى
Dari Sahl bin Sa’ad ra berkata, Nabi bersabda, “Aku mendahuluimu di sebuah telaga. Siapa yang lewat pasti minum, dan siapa yang minum pasti tidak akan haus selama-lamanya. Sungguh akan datang padaku suatu kaum yang aku kenal mereka dan merekapun kenal aku, kemudian dihalangi antaraku dengan mereka, maka aku berkata : Ya Allah, mereka adalah umatku –kemudian dikatakan- (hai Muhammad) engkau tidak tahu apa yang mereka ada-adakan setelahmu. Aku (Nabi) berkata : Jauh! Jauhlah bagi orang yang mengubah agama setelahku.” (H.R al-Bukhari)
3.  Pelakunya Dilaknat Allah, Malaikat dan Semua Manusia
عن أنس رع قال : قال رسول الله صلعم : مَنْ غَشَّ أُمَّتِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ, قِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْغَشُّ؟ قَالَ : أَنْ يَبْتَدِعَ بِدْعَةً فًيَعْمَلُ بِهَا
Dari Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menipu terhadap umatku, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan semua manusia. Rasulullah saw ditanya : Wahai Rasulullah apakah Gasy itu? Beliau menjawab : Mengada-adakan bid’ah serta mengamalkannya.” (H.R ad-Daruquthni)
4.  Amalan Pelaku Bid’ah Pasti Ditolak
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aisyah ra berkata, Rasulullah saw telah bersabda, “Barangsiapa yang membuat-buat hal baru dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada perintah dari kami, maka ia (amalan) itu pasti ditolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dan riwayat Muslim yang lain, beliau bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melaksanakan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada perintah dari kami, maka pekerjaan itu pasti ditolak.”
5.  Bid’ah Bisa Mematikan Sunnah
Perbuatan bid’ah juga akan mengakibatkan terhapusnya dan hilangnya syi’ar-syi’ar As-Sunnah dalam kehidupan umat Islam. Hal ini disebabkan tidak ada satupun bid’ah yang muncul dan menyebar melainkan sebuah sunnah akan mati bersamanya, sebab pada dasarnya bid’ah itu tidak akan muncul kecuali bila As-Sunnah telah ditinggalkan. Sahabat Nabi yang mulia, Ibnu Abbas Rahimahullaah pernah menyinggung hal ini dengan mengatakan:
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلاَّ أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً حَتَّى تَحْيَا الْبِدْعَةُ وَتَمُوْتَ السُّنَّةُ
“Tidaklah datang suatu tahun kepada ummat manusia kecuali mereka membuat-buat sebuah bid’ah di dalamnya dan mematikan as-Sunnah, hingga hiduplah bid’ah dan matilah as-Sunnah.”
6.  Bid’ah Adalah Amalan Yang Disenangi Syetan
عن أبي بكر الصديق رع قال : إِنَّ رسول الله صلعم قال : إِنَّ إِبْلِيْسَ قال : أَهْلَكْتُهُمْ بِالذُّنُوْبِ فَأَهْلَكُوْنِي بِالْإِسْتِغْفَارِ فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ أَهْلَكْتُهُمْ بِالْأَهْوَاءِ فَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُوْنَ فَلَا يَسْتَغْفِرُوْنَهُ
Dari Abu Bakar ash-Shidiq ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda bahwa iblis berkata : “Aku membinasakan manusia dengan dosa, dan mereka membinasakanku dengan istighfar. Ketika aku melihat itu, aku binasakan mereka dengan keinginan melakukan pekerjaan bid’ah, agar mereka mengira mereka mendapat petunjuk yang benar, maka akibatnya mereka tidak memohon ampunan kepada Allah (karena merasa tidak salah).” (H.R Ibnu Abi ‘Ashim)
Imam Sufyan Ats-Tsaury berkata :
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ. اَلْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا
"Bid’ah itu lebih disenangi oleh syaitan dari pada perbuatan maksiat, karena perbuatan maksiat itu (pelakunya) dapat bertaubat (karena bagaimanapun ia meyakini bahwa perbuatannya adalah dosa) sedangkan bid’ah (pelakunya) sulit untuk bertaubat (karena ia melakukannya dengan keyakinan hal itu termasuk ajaran agama, bukan dosa)."

Selasa, 27 Desember 2011

TAHLILAN -Kupas Tuntas-


Muqadimah
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S al-Baqarah : 79)
Kata “ وَيْلٌ “ itu menurut Imam Sibawaih ditujukan bagi orang yang terjungkal ke dalam jurang kebinasaan, sedangkan kata وَيْحٌ dimaksudkan kepada orang yang masih berada pada tepi jurang.
Asbabun-nuzul ayat tersebut berkaitan dengan beberapa orang Yahudi yang menulis sebuah kitab berdasarkan pemikiran mereka sendiri, lalu mereka menjualnya kepada masyarakat arab dengan mengatakan bahwa kitab ini berasal dari Allah. Dan merekapun menjualnya dengan harga sangat murah sekali.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ كَيْفَ تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ وَكِتَابُكُمْ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ الْأَخْبَارِ بِاللَّهِ تَقْرَءُونَهُ لَمْ يُشَبْ وَقَدْ حَدَّثَكُمْ اللَّهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ وَغَيَّرُوا بِأَيْدِيهِمْ الْكِتَابَ فَقَالُوا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أَفَلَا يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنْ الْعِلْمِ عَنْ مُسَاءَلَتِهِمْ وَلَا وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلًا قَطُّ يَسْأَلُكُمْ عَنْ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ
Az-Zuhri menceritakan, ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah memberitahukan, dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan, Wahai kaum muslimin, bagaimana mungkin kalian menanyakan sesuatu kepada Ahli kitab, sedangkan Kitab Allah diturunkan kepada Nabinya merupakan berita Allah yang paling aktual yang apabila kalian membacanya tidak membosankan. Dan Allah telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul kitab telah mengganti kitab Allah dan mengubahnya serta menulis kitab baru dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka mengatakan kitab itu berasal dari Allah dengan maksud agar mereka dapat menjualnya dengan harga yang murah. Bukankah ilmu yang sampai kepada kalian melarang untuk bertanya kepada mereka. Demi Allah kami tidak pernah melihat seorang pun dari mereka bertanya mengenai apa yang diturunkan kepada kalian. (HR Bukhari, Tafsir Ibnu Katsir juz 1 hal 115)
Ayat diatas berbicara Umum tentang orang-orang yang merubah ajaran Agama Allah, kemudian dia mengatakan, ini datangnya dari Allah. Seperti contoh pelaku Tahlilan mereka mengatakan Tahlilan itu ajaran Islam, padahal yang sebenarnya ajaran itu tidak ada di dalam Islam. maka celakalah mereka yang mengatakan Tahlilan tersebut berasal dari Islam, karena mereka telah mengubah ajaran yang di sampaikan oleh Muhammad saw.
Muhamad saw. sendiri sebagai utusan tidak berani mengubah apa yang diturunkan oleh Allah swt.
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah al-Quran yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)." (Q.S Yunus : 15)
Hal-hal yang berkaitan dengan Tahlilan :
3 Masalah di dalam Tahlilan :
1.   Doa Untuk si Mayit
2.   Over Pahala untuk si mayit
3.   Perjamuan Makanan dalam Tahlilan
1.      Tentang doa :
Setiap orang muslim dianjurkan mendoakan orang yang mati dengan lafadz doa yang banyak diajarkan oleh Nabi saw, diantaranya :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَقَ الْفَزَارِيُّ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَبِي سَلَمَةَ وَقَدْ شَقَّ بَصَرُهُ فَأَغْمَضَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَضَجَّ نَاسٌ مِنْ أَهْلِهِ فَقَالَ لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ
Ketika Nabi saw menemui Ummu Salamah rh, sepeninggal Abu Salamah, beliau berdoa, Ya Allah berikanlah Ampunan kepada Abu Salamah dan tinggikan serajatnya dalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk dan berikanlah ia pengganti bagi keluarga yang ditinggalkannya serta berikanlah ampunan kepada kami dan kepadanya, wahai Rabb sekalian alam, juga lapangkannlah kuburnya serta terangilah bagian dalamnya.  (HR Muslim)
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ حَبِيبِ بْنِ عُبَيْدٍ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ سَمِعَهُ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَحَفِظْتُ مِنْ دُعَائِهِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ  
‘Auf bin Malik ra berkata, saya telah mendengar Nabi saw shalat jenazah dan ia mendoa, Ya Allah ampunilah ia, kasihanilah ia, maafkanlah ia, muliakanlah tempat persinggahannya, luaskanlah tempat masuknya. Dan cucilah ia dengan air, salju, dan embun, dan bersihkanlah ia dari kesalahan-kesalahannya sebagaimana dibersihkan pakaian putih dari noda, dan gantikanlah rumahnya dengan yang lebih baik dari rumah (dunia) nya, keluarganya, pasangannya lebih baik dari pasangan dunianya. Dan jagalah dari fitnah kuburnya serta siksa neraka. (H.R. Muslim)
Tetapi kalau menentukan tempatnya, atau menentukan tata caranya, maka hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan tidak ada keterangan dalil yang mengatakan bahwa Nabi atau Para shahabat melakukan “doa bersama” di rumah si mayit untuk mendoakannya.
2.    Over Pahala
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Rasulullah saw bersabda, “Jika mati seorang manusia, putus segala amalnya, kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermafaat, dan anak shaleh yang mendoakannya. (HR Muslim)
Berdasarkan hadits di atas maka tidak ada yang disebut “Over Pahala” orang yang hidup kepada si mayit.
3.    Jamuan Makan
Ada sebagian orang memperbolehkan melakukan jamuan makan, dalam Tahlilan itu berdasarkan hadits berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ
“Kami bersama-sama Rasulullah saw keluar menuju pemakaman jenazah, kemudian aku melihat Rasulullah saw dan ia lagi berdiri di dekat kuburan dan memerintahkan kepada penggali kubur untuk meluaskan bagian kedua kakinya dan juga meluaskan bagian kepalanya, sewaktu hendak pulang datanglah seorang wanita mengundang untuk singgah, kemudian beliau mendatanginya, kemudian wanita itu menyediakan makanan, kemudian Rasulullah menerima makanan tersebut dan kemudian memanggil kaumnya (para shahabat) dan kemudian mereka memakan hidangan tersebut, kemudian kami melihat Rasulullah mengunyah sesuap untuk mencicipinya.(HR Abu Daud)
Jalannya Sanad
رَسُولُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ

أَبِيهِ (كليب بن شهاب)

عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ

ابْنُ إِدْرِيسَ

مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ

ابو داود


Nama Pentaqdil
مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ
ابْنُ إِدْرِيسَ
عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ
أَبِيهِ (كليب بن شهاب)
رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ
Abu Hatim
صدوق




An-Nasai
ثقة




Yahya bin Main

ثقة



Ali Bin Al-Madani

ثقة



Ahmad bin Hambal


ليس به بأس


Yahya bin Main


ثقة


Abu Zur'ah Ar-Razi



ثقة

Muhammad bin Said



ثقة






اسم مبهم

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Baihaqi, ad-Daruqutnie semuanya melalui seorang perawi yaitu ‘Asim bin Kulaib, jatuh pada derajat Dhoif dikarenakan dua hal :
1.  Dari segi sanad, ada disandarkan kepada seseorang yang tidak dikenal namanya, yaitu رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَار
siapa Rajulun tersebut, apakah ia itu shahabat atau ia itu termasuk kaum Munafikin (seperti kasus masjid Dirar), kalau dikatakan رَجُلٌ مِنَ الصَّحَابَةِ laki-laki dari shahabat maka hadits tadi dapat kita terima karena semua rawi pendukung lainnya adalah rawi yang Tsiqoh.
2.  Dari segi Matan hadits tersebut juga ada Ke-Mubham-an yaitu terlihat dalam kalimat امْرَأَةٍ ini menunjukkan ketidak jelasannya, apakah wanita tadi adalah Ahlil mayit ataukan orang lain. Sehingga wajar kalau dia itu orang lain rasul datang memenuhi undangannya.
Di dalam ajaran Islam keluarga yang ditinggal dikirimi makanan bukan malah membuat makanan :
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ أَوْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
Ketika datang seorang pembawa berita kematian Ja'far saat dia terbunuh, Nabi saw berkata, buatkanlah makanan untuk keluarga ja'far, karena mereka telah kedatangan sesuatu yang sangat menyibukkan mereka atau mereka telah didatangi sesuatu yang membuat mereka sibuk.” (HR Ibnu Majah)
Jamuan Makan Menurut Perspektif Ulama NU, di kutip dari Majalah, Al-Mawa'idz, Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasik Malaya, 1933)
Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :
1.   Ngaberatkeun ka Ahli majit, enja ari teu menta tea mah, orokaja da ari geus djadi adat mah sok era oepama henteu teh. Geura oepama henteu sarerea mah?
2.   ngariweuhkeun ka ahli majit, keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajoh ditambahan.
3.   Njoelajaan hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe dibere koe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit
Tahlilan adalah warisan Agama TUH dan YANG
Didalam buku "Parasit Aqidah" susunan A.D. EL Marzdedeq dijelaskan bahwa agama TUH dan agama YANG itu muncul pada Tahun 5000 sebelum Masehi. Dan di dalam kepercayaannya ada tradisi MEMPERINGATI ORANG MATI, yaitu peringatan satu hari kematian, tiga hari kematian, tujuh hari kematian, sembilan hari kematian, lima belas hari kematian, empat puluh hari kematian, seratus hari kematian, setahun kematian, tiga tahun kematian.
Hukum Meniru orang Kafir
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (Q.S al-Maidah : 51)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ الصَّنْعَانِيُّ مِنْ الْيَمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Kalian akan mengikuti jejak, jejak umat-umat sebelum kalian, setapak demi setapak, sejengkal demi sejengkal, sampai jika mereka itu masuk ke dalam lubang biawak maka kalian akan mengikutinya, kemudian kami bertanya, Ya Rasulullah apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani, beliau bersabda, Siapa lagi.” (HR Bukhari)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Rasulullah saw bersabda, Berbedalah dengan orang Musyrik, panjangkan jenggot, dan cukurlah kumis.” (HR Bukhari)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ يَعْنِي الْوَاسِطِيَّ أَخْبَرَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ عَنْ حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Aku diutus menjelang kiamat dengan membawa pedang sehingga hanya Allah yang ibadahi yang tiada sekutu baginya, rezekiku dijadikan di bawah bayang-bayang tombakku. Kehinaan dan kerendahan ditimpakan kepada orang orang yang menyalahi perintahku, dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad)
Kata at-Tasyabbuhu التشبه secara bahasa diambil dari kata “al-Musyabahah” الْمُشَابَهَةُ yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti.
Hadits tersebut mengandung larangan keras sekaligus ancaman terhadap menyerupai orang kafir, baik dalam ucapan, perbuatan, pakaian, perayaan hari-hari besar, dan ibadah mereka, maupaun hal lainnya yang sama sekali tidak pernah disyari’atkan dan tidak kita akui keberadaannya.
Kesimpulan :
1.  Tahlilan bukan berasal dari Islam, memasukkan ke dalam ritual Islam berarti membuat ajaran baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
2.  Mereka yang melakukan ritual Tahlilan mereka dijerat dengan dua kesalahan, pertama berbuat Bid'ah (mengada-ada dalam agama) yang di ancam Neraka, yang kedua Tasyabbuh bil Kuffar yang dihukumi seperti orang Kuffar.

Allaahu a'lam bish-Shawab..