Melafazhkan
niat artinya mengucapkan niat shalat sebelum takbir, yaitu seperti :
نَوَيْتُ
أُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ ....
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada pihak
yang membolehkannya bahkan menganggapnya “sunnat”, sementara ada pihak yang membid’ahkannya. Inilah alasan mereka :
Alasan Orang Yang Berpendapat Sunnatnya Talafuzh
Pertama
:
اَلنِّيَّةُ : قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَنًا بِفِعْلِهِ وَمَحَلُّهَا
الْقَلْبُ. وَالتَلَفُّظُ بِهَا سُنَّةٌ, لِيُعَاوِنَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ.
Niat itu adalah bermaksud melakukan sesuatu yang disertai
dengan melakukannya dan tempat niat itu di dalam hati, sedang mengucapkannya
adalah sunnat, agar lisan membantu hati. (Safinatu al-Najaa, hal 19)
Penjelasan :
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ
اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya
amal itu tergantung pada setiap niatnya dan sesungguhnya segala sesuatu itu
tergantung apa yang diniatkan. Dan barangsiapa yang hijrahnya dalam rangka
memporoleh dunia maka ia akan mendapatkan dunia atau hijrah karena seorang
wanita yang akan ia nikahi maka hijrahnya kepada sesuatu yang ia niatkan dalam
hijrahnya.” (H.R
al-Bukhari)
Mari kita lihat Asbubul Wurud
(latar belakang Rasulullah mengeluarkan sabdanya) dalam Fathul Bari juz 1 hal
10
ورواه
الطبراني من طريق أخرى عن الأعمش بلفظ كَانَ فِيْنَا رَجُلٌ خَطَبَ اِمْرَأَةً
يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ فَأَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَهُ حَتَّى يُهَاجِرَ
فَهَاجَرَ فَتَزَوَّجَهَا فَكَنَا نَسَمِّيْهِ مُهَاجِرَ أُمُّ قَيْسٍ, وهذا إسناد صحيح
على شرط الشيخين
Di kalangan kami ada seorang
laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan yang dipanggil Ummu Qais. Ummu Qais
menolak untuk dinikahi kecuali sang pelamar ikut berhijrah. Kemudian lelaki itu pun ikut
hijrah lalu menikahi Ummu Qais, maka laki-laki itu kami namakan orang yang
berhijrah karena Ummu Qais.
كُلُّ
فِعْلٍ تَوَفَّرَ سَبَبَهُ عَلَى عَهْدِ النبي - صلى الله عليه وسلم - وَلَمْ
يَفْعَلْهُ فَالْمَشْرُوْعُ تَرْكُهُ
Setiap pekerjaan memenuhi
persyaratan motifnya atas sisi Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam dan beliau tidak mengerjakannya maka
yang masyru’ (disyari’atkan) adalah
meninggalkannya.
س
: إذا تَلَفَّظْتُ في دَاخَلِ الْمَسْجِدِ وَقُلْتُ : اَللَّهُمَّ إِنِّي نَوَيْتُ
الْوُضُوْءَ لِصَلَاةِ الْعَصْرِ مِثْلًا ، أَوْ نَوَيْتُ الصَّلاةَ بِهَذِهِ
الطَّرِيْقَةِ هَلْ هَذَا يُعْتَبَرُ بِدْعَةٌ؟
Syaikh bin Baz ditanya, jika aku
mengucapkan niat ketika akan memasuki masjid, ya Allah aku sengaja melakukan
wudhu untuk melaksanakan shalat asar misalnya, atau aku sengaja melakukan
shalat dengan melewati jalan ini, apakah itu termasuk dalam kategori bid'ah?.
ج : لَيْسَ
التَّلَفُّظ بِالنِّيَّةِ لَا فِي الصَّلَاةِ وَلَا فِي الْوُضُوْءِ بِمَشْرُوْعٍ
؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ مَحَلُّهَا القَلْبَ ، فيأتي الْمَرْءُ إِلَى الصَّلاةِ
بِنِيَّةِ الصَّلاةِ وَيَكْفِي
Syaikh
bin Baz menjawab, “Tidak ada mengucapkan niat, tidak pada shalat maupun pada
berwudhu yang disyari’atkan, karena niat itu adalah pekerjaan hati, tidaklah
datangnya seseorang ke masjid kecuali dengan niat shalat dan itu sudah
mencukupi.”
الفواكه الدواني على رسالة ابن أبي زيد القيرواني -
(ج 2 / ص 94(
نَوَيْت
الْوُضُوءَ الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ بِهِ صَحَّ ، وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ
فَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا بَلْ الْأَفْضَلُ تَرْكُ التَّلَفُّظِ
Niat berwudhu yang
Allah perintahkan dengannya itu benar, dan tempat niat itu di hati, maka tidak
disyaratkan melafazhkannya bahkan yang lebih baik meninggalkan melafazhkannya.
قال رسول الله صلعم : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ.
قال ابن القيم : اَلْبَاءُ هُنَا لِلسَّبَبِيَّةِ, وَلِذَا قَالَ فِى تَعْرِيْفِ
النِّيَةِ : اَلنِّيَّةُ هِيَ الْإِرَادَةُ الْمُتَوَجِّهَةُ نَحْوَ الْفِعْلِ لِإبْتِغَاءِ
رِضَاءِ اللهِ وَامْتِثَالِ حُكْمِهِ, وَهَذَا هُوَ الْإِخْلَاصُ.
Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda, “Sesungguhnya amal itu
tergantung niatnya.” Menurut Ibnul Qayyim, “BA” di sini menunjukkan Sababiyah, karenanya beliau
mendefinisikan niat itu sebagai berikut : Niat adalah kehendak atau tujuan yang
diarahkan untuk melakukan sesuatu perbuatan dengan mengharap keridhaan Allah
dan melaksanakan perintah-Nya, dan ini sama dengan ikhlas.
Maksudnya :
Menurut Ibnul Qayyim : lafazh “BA” dalam Bi al-Niyat,
maksudnya Li al-Sababiyah (menunjukan sebab). Jadi pengertian : Innamaa
al-a’malu bi al-niyaati, adalah sesungguhnya nilai amal itu disebabkan atau
tergantung niatnya, dan bukan setiap amal itu harus disertai niat di waktu
mengamalkannya, yakni pengertian “BA” dalam hadits di atas bukan Li
al-Mushahabab (menyertai).
Hadits ini muncul karena suatu sebab, yaitu adanya
seorang laki-laki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini
seorang perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan
pahala hijrah, karena itu dia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Apakah laki-laki itu
mengucapkan dengan lisannya, seperti “Saya niatkan hijrah ini untuk mengawini
Ummu Qais?”, tentu tidak, karena dengan dia niat dalam hatinya berhijrah untuk
Ummu Qais pun itu sudah disebut niat, dan tidak disebutkan kalau laki-laki itu
melafazhkannya dengan lisan.
Untuk lebih jelasnya
lihat syarah hadits “Innamaa al-A’amaalu bi al-Niyaati” pada Kitab Fathul Bari.
Kedua
:
وَسُنَّ نُطْقٌ بِمَنْوِيٍّ قَبْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ
اللِّسَانُ اْلقَلْبَ.
Dan disunatkan mengucapkan niat sebelum takbir supaya
lisan membantu hati. (I’aanatu al-Thaalibin I : 130)
وقد قال الله تعالى : ... وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
...
Allah Ta'ala berfirman : “.... dan tolong menolonglah kamu atas kebaikan
dan taqwa ...” (Q.S al-Maidah : 2)
Keterangan :
Ayat tersebut memerintahkan untuk tolong menolong dalam
kebaikan dan taqwa, sedang Talaffuzh bi al-Niyat adalah usaha lisan membantu
hati dalam mengucapkan niat shalat, ini berarti Talaffuzh bi al-Niyat itu
termasuk yang diperintahkan dalam ayat tersebut.Penjelasan :
إِذَا كَانَ اللِّسَانُ هُوً الَّذِى يُسَاعِدُ الْقَلْبَ فَمَا
الَّذِى يُسَاعِدُ اللِّسَانَ؟ وَالْحَقُّ أَنَّ الْقَلْبَ هُوَ الَّذِى يُسَاعِدُ
اللِّسَانَ. لِقَوْلِ النَّبِيِّ : أَلَا إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ
صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُهَا, أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ.
Jika lisan membantu hati, maka apa yang membantu lisan?, yang benar adalah
hati yang membantu/menggerakkan lisan, bukan lisan membantu hati, mengingat
sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam, “Ingatlah! Sesungguhnya dalam jasad itu terdapat Mudhghah
yang apabila mudhghah itu beres, akan bereslah seluruh jasadnya, dan jika
mudhghah itu rusak, akan rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah itu adalah hati.”
Dengan demikian, tidak benar orang yang berpendapat bahwa lisan itu membantu hati,
yang benar justru sebaliknya, hati membantu lisan.
قِيَاسًا عَلَى نِيَّةِ الْحَجِّ
Diqiyaskan kepada niat melaksanakan haji.
Maksudnya, dalam memulai ibadah haji disyari’atkan melafalkan, “Labbaika
Allaahumma Hajjan”, yang artinya (Aku datang memenuhi panggilan-Mu
untuk menunaikan haji).
Lafazh ini diucapkan dengan lisan sebagai niat ibadah haji, maka kalau niat
ibadah haji boleh diucapkan dengan lisan, tentu saja niat dalam shalat juga
boleh diucapkan dengan lisan.
Penjelasan :
لَا قِيَاسَ فِى الْعِبَادَةِ وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ مُتَقَدَّمٌ
عَلَى الْحَجِّ فِى الْوُجُوْبِ.
Tidak ada qiyas dalam ibadah, di samping itu kewajiban shalat lebih dahulu
disyari’atkan dari pada ibadah haji, shalat diwajibkan di Makkah, sedangkan haji
baru disyari’atkan di Madinah.
عن أبى هريرة أن النبي صلعم قال : إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ
فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبَلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ.
Dari Abu Hurairah r.a Sesungguhnya Nabi saw telah
bersabda, “Jika engkau hendak shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian
menghadap ke kiblat, lalu bertakbir.” (H.R al-Bukhari)
فَالزَّائِدُ عَلَى الْمَشْرُوْعِ مَرْدُوْدٌ لِحَدِيْثِ :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Maka orang yang menambah dari yang disyari’atkan itu, pasti ditolak,
berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam, “Siapa yang mengamalkan apa yang tidak
diperintahkan oleh kami pasti ditolak.” (al-Sunan Wa al-Mubtada’at hal 54).
Maksudnya :
Dalam hadits tersebut Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan
Talaffuzh bi al-Niyat, melainkan langsung saja bertakbir. Menganggap sunnat
Talafuzh bi al-Niyat sama saja dengan menambah aturan/ketentuan ibadah, hal ini
sungguh dilarang, dan pasti ditolak.
كَانَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ إذَا قَامَ إلَى الصّلَاةِ
قَالَ " اللّهُ أَكْبَرُ " وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا قَبْلَهَا وَلَا
تَلَفّظَ بِالنّيّةِ الْبَتّةَ وَلَا قَالَ أُصَلّي لِلّهِ صَلَاةَ كَذَا
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا وَلَا قَالَ
أَدَاءً وَلَا قَضَاءً وَلَا فَرْضَ الْوَقْتِ وَهَذِهِ عَشْرُ بِدَعٍ لَمْ
يَنْقُلْ عَنْهُ أَحَدٌ قَطّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَا ضَعِيفٍ وَلَا مُسْنَدٍ
وَلَا مُرْسَلٍ لَفْظَةً وَاحِدَةً مِنْهَا الْبَتّةَ بَلْ وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ
أَصْحَابِهِ وَلَا اسْتَحْسَنَهُ أَحَدٌ مِنْ التّابِعِينَ وَلَا الْأَئِمّةِ
الْأَرْبَعَةِ وَإِنّمَا غَرّ بَعْضَ الْمُتَأَخّرِينَ قَوْلُ الشّافِعِيّ رَضِيَ
اللّهُ عَنْهُ فِي الصّلَاةِ إنّهَا لَيْسَتْ كَالصّيَامِ وَلَا يَدْخُلُ فِيهَا
أَحَدٌ إلّا بِذِكْرٍ فَظَنّ أَنّ الذّكْرَ تَلَفّظُ الْمُصَلّي بِالنّيّةِ
وَإِنّمَا أَرَادَ الشّافِعِيّ رَحِمَهُ اللّهُ بِالذّكْرِ تَكْبِيرَةَ
الْإِحْرَامِ لَيْسَ إلّا وَكَيْفَ يَسْتَحِبّ الشّافِعِيّ أَمْرًا لَمْ
يَفْعَلْهُ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ وَلَا
أَحَدٌ مِنْ خُلَفَائِهِ وَأَصْحَابِهِ وَهَذَا هَدْيُهُمْ وَسِيرَتُهُمْ فَإِنْ
أَوْجَدَنَا أَحَدٌ حَرْفًا وَاحِدًا عَنْهُمْ فِي ذَلِكَ قَبِلْنَاهُ
وَقَابَلْنَاهُ بِالتّسْلِيمِ وَالْقَبُولِ وَلَا هَدْيَ أَكْمَلُ مِنْ هَدْيِهِمْ
وَلَا سُنّةَ إلّا مَا تَلَقّوْهُ عَنْ صَاحِبِ الشّرْعِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ .
Telah berkata Ibnul Qayyim, “Adalah Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam apabila
berdiri untuk shalat, beliau mengucapkan “Allaahu Akbar”, dan tidak mengucapkan
apa-apa sebelumnya dan tidak melafazhkan niat sama sekali, juga tidak
mengucapkan “Ushallii Lillaahi... (Aku shalat karena Allah, shalat ini dengan
menghadap kiblat, empat rakaat sebagai imam atau makmum, dan juga tidak mengucapkan
“Adaa’an (tunai) atau Qadha dan juga tidak mengucapkan Fardhan al-Waqti. Ini
adalah sepuluh bid’ah yang tidak diriwayatkan oleh seorang pun dengan sanad
yang shahih, tidak dengan sanad yang bersambung ataupun mursal (terputus), satu
katapun sama sekali, bahkan tidak diriwayatkan dari seorang shahabat dan tidak
ada yang menganggap baik seorangpun dari kalangan tabi’in atau dari para imam
madzhab yang empat. (Zaadu al-Ma’aad, I : 51).
Kesimpulan :
Pendapat yang terkuat dalam hal Talafuzh bi al-Niyat adalah
pendapat yang menetapkan bahwa Talafuzh bi al-Niyat itu bid’ah/mengada-ada aturan atau syari'at baru dalam Islam, mengingat :
1. Tidak
dicontohkan oleh Nabi dan Para shahabatnya bahkan tidak juga oleh para imam madzhab
yang empat.
2. Alasan agar
lisan membantu hati kurang kuat karena pada kenyataannya justru hatilah yang
membantu lisan, karena hati adalah penggerak seluruh kegiatan anggota badan.
3. Alasan diqiyaskan kepada niat haji kurang tepat. Pertama, karena shalat lebih dahulu diwajibkannya dari pada haji. Kedua, karena dalam ibadah itu tidak ada qiyas.
4. Niat itu memang wajib karena niat itu yang menentukan nilai suatu amal, tetapi dalam pelaksanaannya tidak usah diucapkan dengan lisan dan cukup dalam hati saja.
5. Jika dibenarkan melafazhkan niat dalam wudhu, shalat, dll. Maka bagaimana melafazhkan niat dalam makan, minum, masuk pasar, berdagang, belajar, naik kendaraan, menulis, membaca, dll?
6. Dengan demikian melafazhkan niat itu hanya ada dalam haji saja, jika memang dalam berwudhu, shalat, shaum, dll ada Talaffuzh bi an-Niyaat, maka mesti ada dalil yang memerintahkannya seperti diperintahkannya Talaffuzh bi an-Niyat dalam haji.
7. Seperti dalam qaidah fiqhiyyah : “Pada asalnya dalam ibadah itu batal/haram kecuali ada dalil yang memerintahkannya”.
Jika
Rasul tidak memerintahkan untuk Talaffuzh bi an-Niyat, maka tidak usah ditambah
dengan melafazhkan niat karena dalam hadits di atas sudah jelas bahwa
Rasulullah dalam shalat tidak melafazhkan niat tapi langsung takbir.
Allaahu
a’lam bi ash-Shawaab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar