Minggu, 29 Januari 2012

MELAFAZHKAN NIAT dalam Wudhu dan Shalat


Melafazhkan niat artinya mengucapkan niat shalat sebelum takbir, yaitu seperti :
نَوَيْتُ أُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ ....
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada pihak yang membolehkannya bahkan menganggapnya “sunnat”, sementara ada pihak yang membid’ahkannya. Inilah alasan mereka :

Alasan Orang Yang Berpendapat Sunnatnya Talafuzh

Pertama :
اَلنِّيَّةُ : قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَنًا بِفِعْلِهِ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَالتَلَفُّظُ بِهَا سُنَّةٌ, لِيُعَاوِنَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ.
Niat itu adalah bermaksud melakukan sesuatu yang disertai dengan melakukannya dan tempat niat itu di dalam hati, sedang mengucapkannya adalah sunnat, agar lisan membantu hati. (Safinatu al-Najaa, hal 19)
Penjelasan :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada setiap niatnya dan sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung apa yang diniatkan. Dan barangsiapa yang hijrahnya dalam rangka memporoleh dunia maka ia akan mendapatkan dunia atau hijrah karena seorang wanita yang akan ia nikahi maka hijrahnya kepada sesuatu yang ia niatkan dalam hijrahnya.” (H.R al-Bukhari)
Mari kita lihat Asbubul Wurud (latar belakang Rasulullah mengeluarkan sabdanya) dalam Fathul Bari juz 1 hal 10

ورواه الطبراني من طريق أخرى عن الأعمش بلفظ كَانَ فِيْنَا رَجُلٌ خَطَبَ اِمْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ فَأَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَهُ حَتَّى يُهَاجِرَ فَهَاجَرَ فَتَزَوَّجَهَا فَكَنَا نَسَمِّيْهِ مُهَاجِرَ أُمُّ قَيْسٍ, وهذا إسناد صحيح على شرط الشيخين
Di kalangan kami ada seorang laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan yang dipanggil Ummu Qais. Ummu Qais menolak untuk dinikahi kecuali sang pelamar ikut berhijrah. Kemudian lelaki itu pun ikut hijrah lalu menikahi Ummu Qais, maka laki-laki itu kami namakan orang yang berhijrah karena Ummu Qais.

كُلُّ فِعْلٍ تَوَفَّرَ سَبَبَهُ عَلَى عَهْدِ النبي - صلى الله عليه وسلم - وَلَمْ يَفْعَلْهُ فَالْمَشْرُوْعُ تَرْكُهُ
Setiap pekerjaan memenuhi persyaratan motifnya atas sisi Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam dan beliau tidak mengerjakannya maka yang masyru (disyari’atkan) adalah meninggalkannya.

س : إذا تَلَفَّظْتُ في دَاخَلِ الْمَسْجِدِ وَقُلْتُ : اَللَّهُمَّ إِنِّي نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لِصَلَاةِ الْعَصْرِ مِثْلًا ، أَوْ نَوَيْتُ الصَّلاةَ بِهَذِهِ الطَّرِيْقَةِ هَلْ هَذَا يُعْتَبَرُ بِدْعَةٌ؟
Syaikh bin Baz ditanya, jika aku mengucapkan niat ketika akan memasuki masjid, ya Allah aku sengaja melakukan wudhu untuk melaksanakan shalat asar misalnya, atau aku sengaja melakukan shalat dengan melewati jalan ini, apakah itu termasuk dalam kategori bid'ah?.

ج : لَيْسَ التَّلَفُّظ بِالنِّيَّةِ لَا فِي الصَّلَاةِ وَلَا فِي الْوُضُوْءِ بِمَشْرُوْعٍ ؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ مَحَلُّهَا القَلْبَ ، فيأتي الْمَرْءُ إِلَى الصَّلاةِ بِنِيَّةِ الصَّلاةِ وَيَكْفِي
Syaikh bin Baz menjawab, “Tidak ada mengucapkan niat, tidak pada shalat maupun pada berwudhu yang disyari’atkan, karena niat itu adalah pekerjaan hati, tidaklah datangnya seseorang ke masjid kecuali dengan niat shalat dan itu sudah mencukupi.”

الفواكه الدواني على رسالة ابن أبي زيد القيرواني - (ج 2 / ص 94(
نَوَيْت الْوُضُوءَ الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ بِهِ صَحَّ ، وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ فَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا بَلْ الْأَفْضَلُ تَرْكُ التَّلَفُّظِ
Niat berwudhu yang Allah perintahkan dengannya itu benar, dan tempat niat itu di hati, maka tidak disyaratkan melafazhkannya bahkan yang lebih baik meninggalkan melafazhkannya.

قال رسول الله صلعم : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ. قال ابن القيم : اَلْبَاءُ هُنَا لِلسَّبَبِيَّةِ, وَلِذَا قَالَ فِى تَعْرِيْفِ النِّيَةِ : اَلنِّيَّةُ هِيَ الْإِرَادَةُ الْمُتَوَجِّهَةُ نَحْوَ الْفِعْلِ لِإبْتِغَاءِ رِضَاءِ اللهِ وَامْتِثَالِ حُكْمِهِ, وَهَذَا هُوَ الْإِخْلَاصُ.
Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.”  Menurut Ibnul Qayyim, “BA” di sini menunjukkan Sababiyah, karenanya beliau mendefinisikan niat itu sebagai berikut : Niat adalah kehendak atau tujuan yang diarahkan untuk melakukan sesuatu perbuatan dengan mengharap keridhaan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, dan ini sama dengan ikhlas.
Maksudnya :
Menurut Ibnul Qayyim : lafazh “BA” dalam Bi al-Niyat, maksudnya Li al-Sababiyah (menunjukan sebab). Jadi pengertian : Innamaa al-a’malu bi al-niyaati, adalah sesungguhnya nilai amal itu disebabkan atau tergantung niatnya, dan bukan setiap amal itu harus disertai niat di waktu mengamalkannya, yakni pengertian “BA” dalam hadits di atas bukan Li al-Mushahabab (menyertai).

Hadits ini muncul karena suatu sebab, yaitu adanya seorang laki-laki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini seorang perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah, karena itu dia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Apakah laki-laki itu mengucapkan dengan lisannya, seperti “Saya niatkan hijrah ini untuk mengawini Ummu Qais?”, tentu tidak, karena dengan dia niat dalam hatinya berhijrah untuk Ummu Qais pun itu sudah disebut niat, dan tidak disebutkan kalau laki-laki itu melafazhkannya dengan lisan.
Untuk lebih jelasnya lihat syarah hadits “Innamaa al-A’amaalu bi al-Niyaati” pada Kitab Fathul Bari.

Kedua :
وَسُنَّ نُطْقٌ بِمَنْوِيٍّ قَبْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ اْلقَلْبَ.
Dan disunatkan mengucapkan niat sebelum takbir supaya lisan membantu hati. (I’aanatu al-Thaalibin I : 130)
وقد قال الله تعالى : ... وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى ...
Allah Ta'ala berfirman : “.... dan tolong menolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa ...” (Q.S al-Maidah : 2)
Keterangan :
Ayat tersebut memerintahkan untuk tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, sedang Talaffuzh bi al-Niyat adalah usaha lisan membantu hati dalam mengucapkan niat shalat, ini berarti Talaffuzh bi al-Niyat itu termasuk yang diperintahkan dalam ayat tersebut.Penjelasan :
إِذَا كَانَ اللِّسَانُ هُوً الَّذِى يُسَاعِدُ الْقَلْبَ فَمَا الَّذِى يُسَاعِدُ اللِّسَانَ؟ وَالْحَقُّ أَنَّ الْقَلْبَ هُوَ الَّذِى يُسَاعِدُ اللِّسَانَ. لِقَوْلِ النَّبِيِّ : أَلَا إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُهَا, أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ.
Jika lisan membantu hati, maka apa yang membantu lisan?, yang benar adalah hati yang membantu/menggerakkan lisan, bukan lisan membantu hati, mengingat sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam, “Ingatlah! Sesungguhnya dalam jasad itu terdapat Mudhghah yang apabila mudhghah itu beres, akan bereslah seluruh jasadnya, dan jika mudhghah itu rusak, akan rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah itu adalah hati.” Dengan demikian, tidak benar orang yang berpendapat bahwa lisan itu membantu hati, yang benar justru sebaliknya, hati membantu lisan.

Ketiga :
قِيَاسًا عَلَى نِيَّةِ الْحَجِّ
Diqiyaskan kepada niat melaksanakan haji.
Maksudnya, dalam memulai ibadah haji disyari’atkan melafalkan, “Labbaika Allaahumma Hajjan”, yang artinya (Aku datang memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji).

Lafazh ini diucapkan dengan lisan sebagai niat ibadah haji, maka kalau niat ibadah haji boleh diucapkan dengan lisan, tentu saja niat dalam shalat juga boleh diucapkan dengan lisan.
Penjelasan :
لَا قِيَاسَ فِى الْعِبَادَةِ وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ مُتَقَدَّمٌ عَلَى الْحَجِّ فِى الْوُجُوْبِ.
Tidak ada qiyas dalam ibadah, di samping itu kewajiban shalat lebih dahulu disyari’atkan dari pada ibadah haji, shalat diwajibkan di Makkah, sedangkan haji baru disyari’atkan di Madinah.
عن أبى هريرة أن النبي صلعم قال : إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبَلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ.
Dari Abu Hurairah r.a Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda, “Jika engkau hendak shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadap ke kiblat, lalu bertakbir.” (H.R al-Bukhari)
فَالزَّائِدُ عَلَى الْمَشْرُوْعِ مَرْدُوْدٌ لِحَدِيْثِ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Maka orang yang menambah dari yang disyari’atkan itu, pasti ditolak, berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam, “Siapa yang mengamalkan apa yang tidak diperintahkan oleh kami pasti ditolak.” (al-Sunan  Wa al-Mubtada’at hal 54).

Maksudnya :
Dalam hadits tersebut Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan Talaffuzh bi al-Niyat, melainkan langsung saja bertakbir. Menganggap sunnat Talafuzh bi al-Niyat sama saja dengan menambah aturan/ketentuan ibadah, hal ini sungguh dilarang, dan pasti ditolak.
كَانَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ إذَا قَامَ إلَى الصّلَاةِ قَالَ " اللّهُ أَكْبَرُ " وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا قَبْلَهَا وَلَا تَلَفّظَ بِالنّيّةِ الْبَتّةَ وَلَا قَالَ أُصَلّي لِلّهِ صَلَاةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا وَلَا قَالَ أَدَاءً وَلَا قَضَاءً وَلَا فَرْضَ الْوَقْتِ وَهَذِهِ عَشْرُ بِدَعٍ لَمْ يَنْقُلْ عَنْهُ أَحَدٌ قَطّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَا ضَعِيفٍ وَلَا مُسْنَدٍ وَلَا مُرْسَلٍ لَفْظَةً وَاحِدَةً مِنْهَا الْبَتّةَ بَلْ وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَلَا اسْتَحْسَنَهُ أَحَدٌ مِنْ التّابِعِينَ وَلَا الْأَئِمّةِ الْأَرْبَعَةِ وَإِنّمَا غَرّ بَعْضَ الْمُتَأَخّرِينَ قَوْلُ الشّافِعِيّ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ فِي الصّلَاةِ إنّهَا لَيْسَتْ كَالصّيَامِ وَلَا يَدْخُلُ فِيهَا أَحَدٌ إلّا بِذِكْرٍ فَظَنّ أَنّ الذّكْرَ تَلَفّظُ الْمُصَلّي بِالنّيّةِ وَإِنّمَا أَرَادَ الشّافِعِيّ رَحِمَهُ اللّهُ بِالذّكْرِ تَكْبِيرَةَ الْإِحْرَامِ لَيْسَ إلّا وَكَيْفَ يَسْتَحِبّ الشّافِعِيّ أَمْرًا لَمْ يَفْعَلْهُ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ وَلَا أَحَدٌ مِنْ خُلَفَائِهِ وَأَصْحَابِهِ وَهَذَا هَدْيُهُمْ وَسِيرَتُهُمْ فَإِنْ أَوْجَدَنَا أَحَدٌ حَرْفًا وَاحِدًا عَنْهُمْ فِي ذَلِكَ قَبِلْنَاهُ وَقَابَلْنَاهُ بِالتّسْلِيمِ وَالْقَبُولِ وَلَا هَدْيَ أَكْمَلُ مِنْ هَدْيِهِمْ وَلَا سُنّةَ إلّا مَا تَلَقّوْهُ عَنْ صَاحِبِ الشّرْعِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ .
Telah berkata Ibnul Qayyim, “Adalah Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam apabila berdiri untuk shalat, beliau mengucapkan “Allaahu Akbar”, dan tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya dan tidak melafazhkan niat sama sekali, juga tidak mengucapkan “Ushallii Lillaahi... (Aku shalat karena Allah, shalat ini dengan menghadap kiblat, empat rakaat sebagai imam atau makmum, dan juga tidak mengucapkan “Adaa’an (tunai) atau Qadha dan juga tidak mengucapkan Fardhan al-Waqti. Ini adalah sepuluh bid’ah yang tidak diriwayatkan oleh seorang pun dengan sanad yang shahih, tidak dengan sanad yang bersambung ataupun mursal (terputus), satu katapun sama sekali, bahkan tidak diriwayatkan dari seorang shahabat dan tidak ada yang menganggap baik seorangpun dari kalangan tabi’in atau dari para imam madzhab yang empat. (Zaadu al-Ma’aad,  I : 51).
 
Kesimpulan :
Pendapat yang terkuat dalam hal Talafuzh bi al-Niyat adalah pendapat yang menetapkan bahwa Talafuzh bi al-Niyat itu bid’ah/mengada-ada aturan atau syari'at baru dalam Islam, mengingat :
1.  Tidak dicontohkan oleh Nabi dan Para shahabatnya bahkan tidak juga oleh para imam madzhab yang empat.
2.  Alasan agar lisan membantu hati kurang kuat karena pada kenyataannya justru hatilah yang membantu lisan, karena hati adalah penggerak seluruh kegiatan anggota badan.

3.  Alasan diqiyaskan kepada niat haji kurang tepat. Pertama, karena shalat lebih dahulu diwajibkannya dari pada haji. Kedua, karena dalam ibadah itu tidak ada qiyas.

4.  Niat itu memang wajib karena niat itu yang menentukan nilai suatu amal, tetapi dalam pelaksanaannya tidak usah diucapkan dengan lisan dan cukup dalam hati saja. 

5.  Jika dibenarkan melafazhkan niat dalam wudhu, shalat, dll. Maka bagaimana melafazhkan niat dalam makan, minum, masuk pasar, berdagang, belajar, naik kendaraan, menulis, membaca, dll?

6.  Dengan demikian melafazhkan niat itu hanya ada dalam haji saja, jika memang dalam berwudhu, shalat, shaum, dll ada Talaffuzh bi an-Niyaat, maka mesti ada dalil yang memerintahkannya seperti diperintahkannya Talaffuzh bi an-Niyat dalam haji.

7. Seperti dalam qaidah fiqhiyyah : “Pada asalnya dalam ibadah itu batal/haram kecuali ada dalil yang memerintahkannya”.
Jika Rasul tidak memerintahkan untuk Talaffuzh bi an-Niyat, maka tidak usah ditambah dengan melafazhkan niat karena dalam hadits di atas sudah jelas bahwa Rasulullah dalam shalat tidak melafazhkan niat tapi langsung takbir.

Allaahu a’lam bi ash-Shawaab..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar