Kamis, 19 Januari 2012

Berwudhu & Batal Shalat karena Darah


Berdasarkan keterangan yang shahih, pembatal wudhu itu sesuatu yang keluar dari dua lubang. Namun demikian ada sebagian ulama berpendapat bahwa salah satu yang membatalkan wudhu itu keluarnya darah dari sebagian anggota badan. Pendapat seperti ini bersumberkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan Ibnu ‘Adi. Akan tetapi sayang, haditsnya tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Haditsnya ialah :
Hadits Pertama :
وعن عائشة أن رسول الله صلعم قال : مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذْيٌ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ فِى ذَالِكَ لَا يَتَكَلَّمُ. أخرجه ابن ماجه وضعفه أحمد وغيره
Dari ‘Aisayah rhadhiyallahu 'anha. bahwa Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa muntah, atau keluar sesuatu dari hidungnya (mimisan), atau keluar dari leher, atau keluar madzi, maka hendaklah ia berwudhu kemudian meneruskan shalatnya, jika dalam keadaan tersebut dia tidak berbicara” (H.R Ibnu Majah dan didha’ifkan (dilemahkan) oleh Ahmad dan yang lainnya).
Keterangan :
Ahmad dan al-Baihaqi berkomentar, Hadits ini Mursal bukan Marfu’ (Subulus-salam, Takhrij hadits nomor 68)
Hadits Kedua :
قاَلَ تَمِيْمُ الدَّارِي : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْوُضُوْءُ مِنْ كُلِّ دَمٍ سَائِلٍ
Tamim ad-Dari berkata, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “(Keharusan) berwudhu itu disebabkan setiap darah yang mengalir.” (H.R ad-Daruquthni).
A. Matan hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni melalui shahabat Tamim ad-Dari
Keterangan :
Pada sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama :
1.  Umar bin Abdul Aziz. Ia mendengar dari Tamim ad-Dari (Munqathi’) bahkan ia tidak pernah melihatnya.
2.  Yazid bin Muhammad dan Yazid bin Khalid
Komentar Para Ulama :
a.  Al-Albani berkomentar dalam Kitabnya Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah Wal Maudhu’ah I : 482, “Kedua rawi ini majhul”.
b.  Ad-daruquthni berkomentar, “Kedua rawi tersebut majhul”
3.  Baqiyah bin al-Walid
Komentar Para Ulama :
a.  Al-Khatib berkata, “Fii hadiitsihi manakir” (Pada haditsnya banyak yang diingkari), hanya yang paling banyak mengenai kemungkarannya itu apabila ia meriwayatkan dari rawi-rawi yang tidak dikenal dalam periwayatan, walaupun ia sendiri shaduq (orang yang terpercaya).”
b.  Al-Baihaqi berkata dalam kitab Al-Khilafiyat, “Mereka sepakat bahwa Baqiyah itu tidak bisa dijadikan hujah”
c.  Ibnu Qathan berkata, “Baqiyah itu (sering) melakukan tadlis (penyamaran) dari orang-orang yang dha’if”
(Tahdzibut-Tahdzib I : 478)
d.  Abdurrahman bin Abu Hatim ar-Razi berkata, bahwa ia mendengar ayahnya berkata, “Hadits Baqiyah itu ditulis dan tidak dijadikan hujjah” (Al-Abathil wal Manakir I :352)
Walaupun ia menjadi rijal al-Bukhari dan Muslim, tetapi bukan untuk menjadi rawi yang pokok melainkan hanya dijadikan syahid saja. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Husaini bin Ibrahim.
e.  Al-Jauraqani berkata, “Baqiyah itu apabila tafarud (sendirian dalam meriwayatkan), maka riwayatnya tidak dijadikan hujjah, disebabkan banyaknya tadlis. Walaupun sesungguhnya Muslim bin al-Hajaj dan jama’atun (sekelompok) dari para imam telah meriwayatkan darinya sebagai i’tibar (perbandingan) dan syahid, dan mereka tidak menjadikan tafarudnya itu sebagai pokok.” (Al-Abathil wal Manakir I : 353)
B. Ibnu ‘Adi melalui shahabat Zaid bin Tsabit.
Keterangan :
Pada sanadnya terdapat rawi yang bernama :
1. Baqiyah bin al-Walid
Tentang kedha’ifan Baqiyah telah dijelaskan dalam riwayat ad-Daruquthni di atas.
2.  Ahmad bin al-Farj bin Sulaiman al-Kindi Abu Utbah al-Himshi yang dikenal sebagai Al-Hijaj, ia wafat di Himshi tahun 271 H.
Komentar Para Ulama :
a.  Ibnu Hibban menerangkan dalam kitabnya Ats-Tsiqat, “Ia seorang rawi yang banyak salah”
b.  Ibnu ‘Adi berkata dalam Kitab Nasbur Rayah, “Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali melalui Ahmad, sedangkan ia termasuk rawi yang tidak dapat dijadikan hujjah.” (Nasbur Rayah I : 37)
Hadits Ketiga :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لَيْسَ فِى الْقَطْرَةِ وَالْقَطْرَتَيْنِ مِنَ الدَّمِ وُضُوْءٌ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ دَمًا سَائِلًا
 “Dari Abu Hurairah, ia berkata, dari Nabi saw bersabda, “Tidak ada wudhu disebabkan setetes dan dua tetes darah, kecuali darah yang mengalir.”
عن أبى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لَيْسَ فِى الْقَطْرَةِ وَالْقَطْرَتَيْنِ مِنَ الدَّمِ وُضُوْءٌ حَتَّى يَكُوْنَ دَمًا سَائِلًا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Tidak ada wudhu disebabkan setetes dan dua tetes darah, sampai berupa darah yang mengalir.”
Keterangan :
Kedua hadits di atas diriwayatkan oleh ad-Daruquthni. Dan keduanya dha’if, sebab pada sanadnya terdapat rawi yang bernama :
1.  Muhammad bin al-Fadhl, nama lengkapnya adalah bin Athiyah bin Umar bin Khalid al-‘Abasiy Abu Abdillah al-Kufi, disebut juga Al-Marwazi dan ia tinggal di Bukhara.
Komentar para ulama :
a.  Mu’awiyah bin Shalih berkata dari Yahya bin Ma’in, “Ia seorang rawi yang dha’if lagi pendusta”
b.  Imam Ahmad berkomentar, “Haditsnya adalah hadits Ahlu Kadzab (tukang dusta)”
c.  ‘Amr bin ‘Ali dan Imam Muslim berkomentar, “Matrukul Hadits”
d.  Abu Zur’ah berkomentar, “Dha’iful Hadits”
e.  Imam an-Nasai berkomentar, “Ia seorang rawi pendusta”
d.  Shalih bin Muhammad al-Hafizh dan Ibnu Hibban berkomentar, “Ia seorang rawi yang suka memalsukan hadits dari rawi-rawi yang tsiqat (dapat dipercaya), sehingga tidak halal untuk dicatat haditsnya melainkan hanya dijadikan sebagai bahan kajian”
(Tahdzibul Kamal XXVI : 280)
2. Hajaj bin Nushair al-Fasatity al-Qaisyi
Komentar para ulama :
a.  Ibnu Ma’in berkomentar, “Ia seorang rawi yang dha’if”
b. ‘Ali al-Madini berkomentar, “Dzahaba Haditsuhu” (haditsnya hilang)
c.  Abu Hatim berkomentar, “Munkarul Hadits” (hadits-haditsnya diingkari), Dha’iful Hadits, Turika Haditsuhu (haditsnya ditinggalkan), dan orang-orang tidak ada yang meriwayatkan darinya”
d.  Imam Bukhari berkomentar, “Sakatu ‘anhu (ia rawi yang tidak diperbincangkan mengenai sifat diterima atau ditolak dalam periwayatannya)”
e.  Imam an-Nasai berkomentar, “Ia rawi yang dha’if, tidak termasuk rawi yang tsiqat, dan hadits-haditsnya tidak ditulis”
f.   Abu Hatim bin Hibban mengatakan dalam kitabnya Ats-Tsiqat, “Ia rawi yang banyak salah serta tertuduh dusta”
(Tahdzibul Kamal V : 461)
Hadits Keempat :
عن أبى هريرة يَرْفَعُهُ قَالَ : تُعَادُ الصَّلَاةُ مِنْ قَدْرِ الدِّرْهَمِ مِنَ الدَّمِ
Dari Abu Hurairah, ia memarfukannya (dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam), beliau bersabda, “Shalat itu mesti diulangi disebabkan darah seukuran dirham.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Kitabnya As-Sunanul Kubra II : 404, Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’aful Kabir II : 56, dan Ad-Daruquthni dalam Sunan Ad-Daruquthni I : 401.
Keterangan :
Dalam ketiga sanad hadits tersebut terdapat rawi yang bernama Rauh bin Ghuthaif.
Komentar Para Ulama :
a.  Ibnu Ma’in berkomentar, “Dha’if”
b.  Imam an-Nasai berkomentar, “(ia itu) matruk”
(Mizanul ‘Itidal II : 60)
c.  Al-Bukhari dan Ibnu Hibban berkomentar, “Hadits ini bathil, sedangkan Rauh itu munkarul hadits (tidak halal meriwayatkan hadits darinya), Ia suka meriwayatkan hadits-hadits Maudhu’ (palsu) dengan mengatasnamakan dari rawi-rawi yang tsiqat, sehingga hadits yang ia riwayatkan tidak halal untuk ditulis”
d.  Ad-Daruquthni berkomentar “Munkarul Hadits”, dan menurut Imam an-Nasai, “Ia rawi yang tidak kuat”. (Mizanul ‘Itidal II : 60. Al-Maudhu’at II : 76, Sunan ad-Daruquthni I : 401)
Hadits Kelima :
عن أبى هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اَلدَّمُ مِقْدَارُ الدِّرْهَمِ يَغْسِلُ وَتُعَادُ مِنْهُ الصَّلَاةُ
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Darah seukuran dirham itu mesti dicuci dan diulangi shalatnya”
Hadits ini terdapat dalam beberapa kitab yang di antaranya Al-Khatib, Tarikh Baghdad IX : 330, Al-La-aliul Masnu’ah II : 3, Nashbur Rayah I : 212, Tanjihusy-Syari’ah II : 66, dan Al-Maudhu’at II : 75-76.
Keterangan :
Pada sanadnyya terdapat rawi yang bernama Nuh bin Abu Maryam, adapun namanya adalah Mabanah dan disebut juga Mafanah, adapula yang mengatakan Yazid bin Ja’wanah al-Marwazi Abu ‘Ishmah al-Quraisyi seorang hakim di Marwa, ia lebih dikenal dengan sebutan Nuhul Jami’.
Komentar Para Ulama :
a. Ahmad bin Said bin Abu Maryam bertanya kepada Yahya bin Ma’in mengenai Nuh bin Abu Maryam, ia menjawab, “Ia seorang rawi yang tidak ada apa-apanya dan hadits-haditsnya tidak ditulis”
b.  Abu Zur’ah berkomentar, “Dha’iful Hadits”
c.  Abu Bisyr ad-Daulabi dan Ad-Daruquthni berkomentar, “Munkarul Hadits”
d.  Al-Bukhari berkomentar, “Munkarul Hadits”. Pada kesempatan lain ia mengatakan, “Nuh bin Abu Maryam, Dzabihul Hadits (haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah)”
e.  An-Nasai berkomentra, “Ia tidak tsiqat, tidak ditulis haditsnya, dan haditsnya lemah”
(Tahdzibul Kamal XXX : 59-60)
f. Abu ‘Ali an-Naisaburi dan Ibnu Uyainah berkomentar, “Ia rawi pendusta”
g. As-Saji berkomentar, “Matrukul Hadits dan ia memiliki hadits-hadits yang bathil”
h. Al-Khalili berkomentar, “Para ulama sepakat atas kedha’ifannya”
(Tahdzibut Tahdzib X : 488)
Hadits Keenam :
إِذَا كَانَ فِى الثَّوْبِ قَدْرَ الدِّرْهَمِ مِنَ الدَّمِ غُسِلَ الثَّوْبُ وَأُعِيْدَتِ الصَّلَاةُ
“Apabila pada baju terdapat darah sebesar dirham, maka baju itu mesti dicuci dan diulangi shalatnya”.
(H.R ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni I : 401, Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at II : 76)
Keterangan :
Pada sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Asad bin Amar Abu Munndzir al-Bajaly.
Komentar Para Ulama :
a. Yazid bin Harun berkomentar, “Tidak halal meriwayatkan hadits dari dia”
b. Yahya bin Ma’in, “Ia seorang rawi pendusta”
c. Imam Al-Bukhari serta Al-Falasy berkomentar, “Ia rawi yang lemah”
d. Imam an-Nasai berkomentar, “Ia rawi yang tidak kuat” (Mizanul ‘Itidal I : 202).
Kesimpulan :
1.  Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka baik darah yang mengalir dari sebagian tubuh ataupun darah yang hanya kena kepada pakaian atau sebagian anggota badan itu tidak membatalkan wudhu dan tidak usah mengulangi shalat.
2.  Bertentangan dengan hadits shahih yang diiriwayatkan oleh Al-Bukhari, yaitu diterangkan bahwa Al-Hasan berkata, “Tidak henti-hentinya kaum muslimin shalat dalam keadaan terluka”.
3. Ath-Thawus, Muhammad bin ‘Ali, Atha dan Ahlu Hijaj mengatakan, “Tidak ada wudhu karena darah”. Maksudnya orang tidak batal wudhu karena darah.”
4.  Shahabat Ibnu Umar pernah memijit jerawatnya, kemudian keluar darah, dan ia tidak berwudhu lagi.
5.  Ibnu Umar dan Al-Hasan mengatakan tentang orang yang berbekam, “Tidak ada (wudhu) baginya kecuali mencuci bekas bekamnya”
(Fathul Bari I : 336)
6.  Adapun darah haid dan nifas itu termasuk najasat. Apabila kedua macam darah itu terbawa shalat, memang tidak membatalkan shalatnya, namun sebelumnya darah tersebut harus dihilangkan. Karena itu Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam menetapkan aturan bahwa bila darah haid itu kena baju, maka harus dibersihkan, sebagaimana keterangan hadits berikut :
عن أسماء قالت : جاءت امرأة النبي صلعم فقالت : أرأيت إحدانا تحيض فى الثوب كيف تصنع ؟ قال : تحته ثم تقرصه بالماء وتنضحه وتصلى فيه
“Dari Asma, ia berkata, “Seorang perempuan datang kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam lalu bertanya, Bagaimana menurut Anda tentang seseorang dari kami darah haid mengenai bajunya. Apa yang mesti dilakukannya, Nabi saw menjawab, cukup ia mengeriknya, menggosoknya dengan air, dan mencucinya, kemudian ia boleh shalat padanya.” (H.R al-Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar