Berdasarkan keterangan yang
shahih, pembatal wudhu itu sesuatu yang keluar dari dua lubang. Namun demikian
ada sebagian ulama berpendapat bahwa salah satu yang membatalkan wudhu itu
keluarnya darah dari sebagian anggota badan. Pendapat seperti ini bersumberkan
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan Ibnu ‘Adi. Akan tetapi
sayang, haditsnya tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Haditsnya
ialah :
Hadits Pertama :
وعن
عائشة أن رسول الله صلعم قال : مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ
مَذْيٌ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ فِى ذَالِكَ لَا يَتَكَلَّمُ.
أخرجه ابن ماجه وضعفه أحمد وغيره
Dari ‘Aisayah rhadhiyallahu 'anha. bahwa Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa
muntah, atau keluar sesuatu dari hidungnya (mimisan), atau keluar dari leher,
atau keluar madzi, maka hendaklah ia berwudhu kemudian meneruskan shalatnya,
jika dalam keadaan tersebut dia tidak berbicara” (H.R Ibnu Majah dan didha’ifkan
(dilemahkan) oleh Ahmad dan yang lainnya).
Keterangan :
Ahmad dan al-Baihaqi berkomentar, Hadits ini Mursal bukan
Marfu’ (Subulus-salam, Takhrij hadits nomor 68)
Hadits Kedua :
قاَلَ
تَمِيْمُ الدَّارِي : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْوُضُوْءُ مِنْ كُلِّ دَمٍ سَائِلٍ
Tamim ad-Dari berkata, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “(Keharusan)
berwudhu itu disebabkan setiap darah yang mengalir.” (H.R ad-Daruquthni).
A. Matan hadits
ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni melalui shahabat Tamim ad-Dari
Keterangan
:
Pada sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama :
1. Umar bin Abdul
Aziz. Ia mendengar dari Tamim ad-Dari (Munqathi’) bahkan ia tidak pernah melihatnya.
2. Yazid bin
Muhammad dan Yazid bin Khalid
Komentar Para
Ulama :
a. Al-Albani berkomentar dalam Kitabnya Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah Wal
Maudhu’ah I : 482, “Kedua rawi ini majhul”.
b. Ad-daruquthni
berkomentar, “Kedua rawi tersebut majhul”
3. Baqiyah bin al-Walid
Komentar Para Ulama :
a. Al-Khatib
berkata, “Fii hadiitsihi manakir” (Pada haditsnya banyak yang diingkari),
hanya yang paling banyak mengenai kemungkarannya itu apabila ia meriwayatkan
dari rawi-rawi yang tidak dikenal dalam periwayatan, walaupun ia sendiri shaduq
(orang yang terpercaya).”
b. Al-Baihaqi
berkata dalam kitab Al-Khilafiyat, “Mereka sepakat bahwa Baqiyah itu
tidak bisa dijadikan hujah”
c. Ibnu Qathan
berkata, “Baqiyah itu (sering) melakukan tadlis (penyamaran) dari orang-orang
yang dha’if”
(Tahdzibut-Tahdzib I : 478)
d. Abdurrahman bin
Abu Hatim ar-Razi berkata, bahwa ia mendengar ayahnya berkata, “Hadits
Baqiyah itu ditulis dan tidak dijadikan hujjah” (Al-Abathil wal Manakir
I :352)
Walaupun ia menjadi rijal al-Bukhari dan Muslim, tetapi bukan untuk menjadi
rawi yang pokok melainkan hanya dijadikan syahid saja. Sebagaimana dijelaskan
oleh Al-Husaini bin Ibrahim.
e. Al-Jauraqani
berkata, “Baqiyah itu apabila tafarud (sendirian dalam meriwayatkan), maka
riwayatnya tidak dijadikan hujjah, disebabkan banyaknya tadlis. Walaupun
sesungguhnya Muslim bin al-Hajaj dan jama’atun (sekelompok) dari para imam
telah meriwayatkan darinya sebagai i’tibar (perbandingan) dan syahid, dan
mereka tidak menjadikan tafarudnya itu sebagai pokok.” (Al-Abathil wal
Manakir I : 353)
B. Ibnu ‘Adi
melalui shahabat Zaid bin Tsabit.
Keterangan
:
Pada sanadnya terdapat rawi yang bernama :
1. Baqiyah bin al-Walid
Tentang kedha’ifan Baqiyah telah dijelaskan dalam riwayat ad-Daruquthni di
atas.
2. Ahmad bin
al-Farj bin Sulaiman al-Kindi Abu Utbah al-Himshi yang dikenal sebagai
Al-Hijaj, ia wafat di Himshi tahun 271 H.
Komentar Para Ulama :
a. Ibnu Hibban
menerangkan dalam kitabnya Ats-Tsiqat, “Ia seorang rawi yang banyak
salah”
b. Ibnu ‘Adi
berkata dalam Kitab Nasbur Rayah, “Kami tidak mengetahui hadits ini
kecuali melalui Ahmad, sedangkan ia termasuk rawi yang tidak dapat dijadikan
hujjah.” (Nasbur Rayah I : 37)
Hadits Ketiga :
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لَيْسَ فِى الْقَطْرَةِ وَالْقَطْرَتَيْنِ مِنَ الدَّمِ وُضُوْءٌ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ
دَمًا سَائِلًا
“Dari
Abu Hurairah, ia berkata, dari Nabi saw bersabda, “Tidak ada wudhu
disebabkan setetes dan dua tetes darah, kecuali darah yang mengalir.”
عن
أبى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لَيْسَ فِى الْقَطْرَةِ وَالْقَطْرَتَيْنِ مِنَ الدَّمِ وُضُوْءٌ حَتَّى يَكُوْنَ دَمًا
سَائِلًا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, dari Nabi saw, beliau
bersabda, “Tidak ada wudhu disebabkan setetes dan dua tetes darah, sampai
berupa darah yang mengalir.”
Keterangan :
Kedua hadits di atas diriwayatkan oleh ad-Daruquthni. Dan
keduanya dha’if, sebab pada sanadnya terdapat rawi yang bernama :
1. Muhammad bin
al-Fadhl, nama lengkapnya adalah bin Athiyah bin Umar bin Khalid al-‘Abasiy Abu
Abdillah al-Kufi, disebut juga Al-Marwazi dan ia tinggal di Bukhara.
Komentar para ulama :
a. Mu’awiyah bin
Shalih berkata dari Yahya bin Ma’in, “Ia seorang rawi yang dha’if lagi
pendusta”
b. Imam Ahmad
berkomentar, “Haditsnya adalah hadits Ahlu Kadzab (tukang dusta)”
c. ‘Amr bin ‘Ali
dan Imam Muslim berkomentar, “Matrukul Hadits”
d. Abu Zur’ah
berkomentar, “Dha’iful Hadits”
e. Imam an-Nasai
berkomentar, “Ia seorang rawi pendusta”
d. Shalih bin
Muhammad al-Hafizh dan Ibnu Hibban berkomentar, “Ia seorang rawi yang suka memalsukan
hadits dari rawi-rawi yang tsiqat (dapat dipercaya), sehingga tidak halal untuk
dicatat haditsnya melainkan hanya dijadikan sebagai bahan kajian”
(Tahdzibul Kamal XXVI : 280)
2. Hajaj bin Nushair al-Fasatity al-Qaisyi
Komentar para ulama :
a. Ibnu Ma’in
berkomentar, “Ia seorang rawi yang dha’if”
b. ‘Ali al-Madini berkomentar, “Dzahaba Haditsuhu”
(haditsnya hilang)
c. Abu Hatim
berkomentar, “Munkarul Hadits” (hadits-haditsnya diingkari), Dha’iful
Hadits, Turika Haditsuhu (haditsnya ditinggalkan), dan orang-orang tidak ada
yang meriwayatkan darinya”
d. Imam Bukhari
berkomentar, “Sakatu ‘anhu (ia rawi yang tidak diperbincangkan mengenai
sifat diterima atau ditolak dalam periwayatannya)”
e. Imam an-Nasai
berkomentar, “Ia rawi yang dha’if, tidak termasuk rawi yang tsiqat, dan
hadits-haditsnya tidak ditulis”
f. Abu Hatim bin Hibban mengatakan dalam kitabnya
Ats-Tsiqat, “Ia rawi yang banyak salah serta tertuduh dusta”
(Tahdzibul Kamal V : 461)
Hadits Keempat :
عن
أبى هريرة يَرْفَعُهُ قَالَ : تُعَادُ الصَّلَاةُ مِنْ قَدْرِ الدِّرْهَمِ مِنَ الدَّمِ
Dari
Abu Hurairah, ia memarfukannya (dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam), beliau bersabda, “Shalat itu
mesti diulangi disebabkan darah seukuran dirham.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Kitabnya As-Sunanul Kubra II :
404, Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’aful Kabir II : 56, dan Ad-Daruquthni dalam Sunan Ad-Daruquthni I : 401.
Keterangan :
Dalam
ketiga sanad hadits tersebut terdapat rawi yang bernama Rauh bin Ghuthaif.
Komentar
Para Ulama :
a.
Ibnu Ma’in
berkomentar, “Dha’if”
b.
Imam an-Nasai berkomentar,
“(ia itu) matruk”
(Mizanul
‘Itidal II : 60)
c. Al-Bukhari dan Ibnu Hibban
berkomentar, “Hadits ini bathil, sedangkan Rauh itu munkarul hadits (tidak
halal meriwayatkan hadits darinya), Ia suka meriwayatkan hadits-hadits Maudhu’
(palsu) dengan mengatasnamakan dari rawi-rawi yang tsiqat, sehingga hadits yang
ia riwayatkan tidak halal untuk ditulis”
d. Ad-Daruquthni berkomentar “Munkarul
Hadits”, dan menurut Imam an-Nasai, “Ia rawi yang tidak kuat”. (Mizanul
‘Itidal II : 60. Al-Maudhu’at II : 76, Sunan ad-Daruquthni I
: 401)
Hadits Kelima :
عن
أبى هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اَلدَّمُ مِقْدَارُ الدِّرْهَمِ يَغْسِلُ وَتُعَادُ مِنْهُ الصَّلَاةُ
“Dari
Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Darah seukuran dirham
itu mesti dicuci dan diulangi shalatnya”
Hadits
ini terdapat dalam beberapa kitab yang di antaranya Al-Khatib, Tarikh
Baghdad IX : 330, Al-La-aliul Masnu’ah II : 3, Nashbur Rayah
I : 212, Tanjihusy-Syari’ah II : 66, dan Al-Maudhu’at II : 75-76.
Keterangan :
Pada
sanadnyya terdapat rawi yang bernama Nuh bin Abu Maryam, adapun namanya
adalah Mabanah dan disebut juga Mafanah, adapula yang mengatakan Yazid bin
Ja’wanah al-Marwazi Abu ‘Ishmah al-Quraisyi seorang hakim di Marwa, ia lebih
dikenal dengan sebutan Nuhul Jami’.
Komentar
Para Ulama :
a.
Ahmad bin Said bin Abu Maryam bertanya kepada Yahya bin Ma’in mengenai Nuh bin
Abu Maryam, ia menjawab, “Ia seorang rawi yang tidak ada apa-apanya dan
hadits-haditsnya tidak ditulis”
b.
Abu Zur’ah
berkomentar, “Dha’iful Hadits”
c.
Abu Bisyr
ad-Daulabi dan Ad-Daruquthni berkomentar, “Munkarul Hadits”
d.
Al-Bukhari
berkomentar, “Munkarul Hadits”. Pada kesempatan lain ia mengatakan, “Nuh
bin Abu Maryam, Dzabihul Hadits (haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah)”
e.
An-Nasai
berkomentra, “Ia tidak tsiqat, tidak ditulis haditsnya, dan haditsnya lemah”
(Tahdzibul
Kamal XXX : 59-60)
f.
Abu ‘Ali an-Naisaburi dan Ibnu Uyainah berkomentar, “Ia rawi pendusta”
g.
As-Saji berkomentar, “Matrukul Hadits dan ia memiliki hadits-hadits yang
bathil”
h.
Al-Khalili berkomentar, “Para ulama sepakat atas kedha’ifannya”
(Tahdzibut
Tahdzib X : 488)
Hadits Keenam :
إِذَا
كَانَ فِى الثَّوْبِ قَدْرَ الدِّرْهَمِ مِنَ الدَّمِ غُسِلَ الثَّوْبُ وَأُعِيْدَتِ الصَّلَاةُ
“Apabila
pada baju terdapat darah sebesar dirham, maka baju itu mesti dicuci dan
diulangi shalatnya”.
(H.R
ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni I : 401, Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at
II : 76)
Keterangan
:
Pada
sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Asad bin Amar Abu Munndzir
al-Bajaly.
Komentar
Para Ulama :
a.
Yazid bin Harun berkomentar, “Tidak halal meriwayatkan hadits dari dia”
b.
Yahya bin Ma’in, “Ia seorang rawi pendusta”
c.
Imam Al-Bukhari serta Al-Falasy berkomentar, “Ia rawi yang lemah”
d.
Imam an-Nasai berkomentar, “Ia rawi yang tidak kuat” (Mizanul ‘Itidal
I : 202).
Kesimpulan :
1. Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, maka baik darah yang mengalir dari sebagian tubuh
ataupun darah yang hanya kena kepada pakaian atau sebagian anggota badan itu
tidak membatalkan wudhu dan tidak usah mengulangi shalat.
2. Bertentangan
dengan hadits shahih yang diiriwayatkan oleh Al-Bukhari, yaitu diterangkan
bahwa Al-Hasan berkata, “Tidak henti-hentinya kaum muslimin shalat dalam
keadaan terluka”.
3. Ath-Thawus, Muhammad bin ‘Ali, Atha dan Ahlu Hijaj
mengatakan, “Tidak ada wudhu karena darah”. Maksudnya orang tidak batal
wudhu karena darah.”
4. Shahabat Ibnu
Umar pernah memijit jerawatnya, kemudian keluar darah, dan ia tidak berwudhu
lagi.
5. Ibnu Umar dan
Al-Hasan mengatakan tentang orang yang berbekam, “Tidak ada (wudhu) baginya
kecuali mencuci bekas bekamnya”
(Fathul Bari I : 336)
6. Adapun darah haid dan nifas itu termasuk
najasat. Apabila kedua macam darah itu terbawa shalat, memang tidak membatalkan
shalatnya, namun sebelumnya darah tersebut harus dihilangkan. Karena itu Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam menetapkan aturan bahwa bila darah haid itu kena baju, maka harus
dibersihkan, sebagaimana keterangan hadits berikut :
عن
أسماء قالت : جاءت امرأة النبي صلعم فقالت : أرأيت إحدانا تحيض فى الثوب كيف تصنع
؟ قال : تحته ثم تقرصه بالماء وتنضحه وتصلى فيه
“Dari Asma, ia
berkata, “Seorang perempuan datang kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam lalu bertanya, Bagaimana
menurut Anda tentang seseorang dari kami darah haid mengenai bajunya. Apa yang
mesti dilakukannya, Nabi saw menjawab, cukup ia mengeriknya, menggosoknya
dengan air, dan mencucinya, kemudian ia boleh shalat padanya.” (H.R
al-Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar