Rabu, 11 Januari 2012

MAULUD NABI antara Sunnah dan Bid'ah

Maulud Nabi dalam Tinjauan Sejarah dan Syari'at


            Waktu berlalu, generasi pertama, kedua, dan ketiga pun ikut berlalu, namun tidak ada dalam catatan buku-buku sejarah yang memuat salah seorang dari sahabat, tabi'in maupun tabiut-tabi'in dan sesudahnya yang mengadakan peringatan Maulud (Hari kelahiran) Nabi saw, padahal mereka sangat mencintai Nabi, orang-orang yang paling tahu tentang sunnah dan orang-orang yang paling giat mengikuti syariatnya.
          Orang yang pertamakali mengadakan bid'ah ini adalah Bani Ubaid al-Qadah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah dan mereka menisbatkan diri kepada putra Ali bin Abi Thalib r.a., padahal sebenarnya mereka adalah peletak dasar untuk mendakwahkan aliran kebathinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dhishan yang dikenal dengan al-Qadah.  Dulunya dia adalah budak Ja'far bin Muhamad ash-Shidiq, berasal dari Ahwaz dan salah seorang pendiri Aliran Bathiniyah di Irak, kemudian pindah ke Maghrib dan menisbatkan diri dalam hal ini kepada Aqil bin Abi Thalib, serta mengaku berasal dari keturunannya. Ketika orang-orang dari kelompok Rafidhah yang sesat menerima seruannya, dia mengaku bahwa dirinya adalah anak Muhamad bin Ismail bin Ja'far ash-Shidiq, sehingga mereka menerimanya, padahal Muhamad bin Ismail bin Ja'far ash-Shidiq meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan. Diantara mereka yang mengikuti jejaknya, yaitu Hamdan Qarmith sehingga kepadanyalah aliran Qaramithah dinisbatkan. Setelah berjalan beberapa saat, munculah Sa'id bin Husain bin Ahmad bin Abdilah bin Maimun bin Dishan al-Qadah, lalu dia mengubah nama dan nasabnya dan berkata kepada pengikut-pengikutnya, "Saya adalah Abidullah bin Hasan bin Muhamad bin Ismail  bin Ja'far ash-Shidiq, maka tampaklah fitnahnya setelah itu di Maghrib. Al-Bagdadi berkata "Sekarang anak-anaknya menguasai banyak bidang (pekerjaan) di Mesir.
          Ibnu Khalkan berkata, "Orang-orang yang ahli dalam masalah nasab dan muhaqqiq mengingkari pengakuannya tentang nasab".
                   Pada tahun 402 H. kelompok ulama, qadhi, orang-orang yang mulia, orang-orang adil, shahih, para fuqaha dan muhadditsin, menyampaikan kuliah tentang celaan terhadap nasab al-fathimiyah al-Abidiyah. Mereka semua bersaksi bahwa pemimpin mesir yaitu Manshur bin Nazzar yang diberi gelar dengan al-Hakim bin Maad bin Ismail bin Abdulah bin Sa'id, ketika sampai di negeri Maghrib, dia mengganti nama dengan Ubaidillah dan membuat gelar dengan nama Al-Mahdi. Para pendahulunya (nenek moyangnya) adalah penganut aliran Khawarij dan tidak ada nasab dengan putra Ali bin Abi Thalib r.a., dan tidak ada hubungan dengannya dari sudut manapun, karena dia bersih dari kebatilan mereka, sedangkan apa yang mereka serukan adalah bathil dan dosa.  Mereka sama sekali tidak tahu tentang seorangpun dari keluarga Ali bin Abi Thalib r.a., atau secara mutlak bisa dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang khawarij pembohong. Pengingkaran ini dilakukan karena kebathilan mereka yang menyebar di Haramain. Pada awalnya hanya menyebar di Maghrib, tetapi akhirnya menyebar dengan pesat, maka bisa dikatakan penguasa Mesir dan pendahulunya itu adalah  orang-orang kafir, fasik, dosa, atheis, dan zindik.  Mereka menentang Islam, aliran mereka Majusi dan yakin kepada berhala-berhala.  Mereka telah membatalkan hukum-hukum syari'at, membolehkan zina, menghalalkan khamr, menumpahkan darah, mencela para nabi, melaknat para salaf, dan mengaku bahwa mereka adalah titisan Tuhan. Komentar-komentar ini ditulis pada tahun 402 H, dan tulisan itu dikeluarkan oleh banyak orang.
Al-Qadhi al-Baqilani menulis sebuah buku tentang penolakannya terhadap mereka, yang dia beri judul “Kasyfu al-Asraar Wa Hatki al-Astaar.”  Dalam buku itu dia menjelaskan tentang kejelekan-kejelekan mereka dan berkata tentang mereka, "Mereka adalah kaum yang menampakkan Faham Rafidhah secara lahir dan menyembunyikan kekafiran".
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang mereka, dia menjawab, "Mereka adalah orang yang paling fasik dan paling kufur."  Siapa yang memberi kesaksian bahwa mereka adalah orang yang beriman dan bertaqwa, atau benar nasabnya, maka dia telah bersaksi tentang mereka dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban". (Q.S. Al-Isra : 36)
Para ulama umat, para pemimpin dan para pembesarnya, bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.
Begitupula dalam hal nasab, telah diketahui bahwa jumhur umah mencatat nasab mereka dan menyebutkan bahwa mereka keturunan orang Majusi dan Yahudi. Inilah yang masyhur menurut kesaksian para ulama Thaif dari mahzab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, Ahlul Kalam, ahli nasab, orang-orang awam dan sebagainya. Bahkan orang-orang yang tidak begitu kenal terhadap merekapun, seperti Ibnu al-Atsir al-Mushili, juga menulis dalam sejarahnya, seperti yang ditulis oleh para ulama lain, yaitu mencatat nasab mereka.
Adapun kebanyakan penulis, baik lama maupun baru, hingga Al-Qadhi bin Khalikan dalam Tarikh-nya, membatalkan nasab mereka. Begitu juga Ibnu al-Jauzi, Abu Syamah, dan ahlu ilmi lainnya. Bahkan para ulama menulis buku-buku khusus untuk menyingkap rahasia mereka dan membuka kedok mereka, seperti al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani dalam bukunya yang terkenal untuk menyingkap rahasia dan kedok mereka.  Dalam buku itu Al-Baqilani mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Majusi dan aliran mereka lebih berbahaya dari mahzab Al-Ghaliyah yang mengakui ketuhanan atau kenabian Ali. Mereka lebih kafir dari mahzab Al- Ghaliyah itu. Begitu juga Al-qadhi Abu Ya'la, dalam bukunya “Al-Mu'tamad”, menjelaskan secara panjang lebar tentang kezindikan dan kekafiran mereka, juga Abu Hamid al-Ghazali, dalam bukunya yang diberi judul “Fadhail al-Mustadzhiriyah wa Fadhail al-Bathiniyah.”  Dia berkata, "Secara lahir aliran mereka Rhafidhah, tetapi bathinnya kafir mutlak."
Demikian juga al-Qadhi Abu Jabbar bin Ahmad dan penganut aliran Mu'tazilah lainnya, yang tidak mengutamakan orang lain atas Ali, Bahkan mereka menfasikan orang yang membunuhnya dan dosanya tidak terampuni. Mereka menempatkan kelompok bathiniyah itu sebagai pemimpin kaum munafik dan zindik.  Seperti itulah aliran pendapat kelompok mu'tazilah tentang kelompok bathiniyah.  Jika seperti itu pendapat kelompok mu'tazilah, lalu bagaimana dengan kelompok Ahlu Sunah?. Kelompok Rafidhah Imamiyah, walaupun mereka dianggap kelompok paling bodoh, tidak berakal dan tidak beragama dengan benar serta tidak menolong Agama, tetapi mereka tahu perkataan orang-orang zindik dan munafik itu. Mereka tahu bahwa pendapat kelompok bathiniyah itu lebih berbahaya daripada pendapat kelompok Al-Ghaliyah yang meyakini keturunan Ali r.a.
Celaan terhadap nasab mereka (Bani Ubaid al-Qadah) ini dapat dilacak dalam catatan ulama-ulama umat dari berbagai macam kelompok. Hingga sekarang para ulama yang masih terjaga ilmu dan agamanya itu, tetap mencela nasab dan agama Bani Ubaid al-Qadah, Bukan karena mereka menganut aliran Rafidhah ataupun Syi'ah, sebab orang-orang semacam ini banyak, tetapi mencela mereka karena mereka bergabung dengan kelompok Qaramithan al-Bathiniyah, yang diantara mereka ada kelompok Ismailiyah, Nasiriyah dan kelompok kafir munafik lainnya, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran, sebagian mereka ada yang mengambil pendapat orang-orang majusi dan sebagian lain mengambil pendapat filosof. Barang siapa yang memberi kesaksian bahwa nasab dan keimanan mereka benar, pasti kesaksiannya itu tidak didasarkan pada pengetahuan.  Kesaksian semacam ini haram hukumnya menurut kesepakatan umat.  Tetapi yang tampak dari mereka adalah kemunafikan, kezindikan, dan permusuhan terhadap wahyu yang dibawa oleh Rasulullah saw.  Ini semua manjadi bukti atas kebathilan nasab Fathimiyah mereka, karena orang yang menjadi kerabat Nabi saw., dan menegakkan kehalifahan pada umatnya, tidak akan memerangi agamanya seperti yang mereka lakukan.  Tidak ada dari kalangan bani Hasyim, atau Bani Umayyah yang menjadi khalifah, lalu mencoreng agama Islam, apalagi memusuhinya seperti yang dilakukan oleh Bani Ubaid al-Qadah. Keturunan raja-raja yang tidak beragama saja, mereka menjaga agama nenek moyang mereka, tetapi mengapa anak keturunan adam, yang telah diberi petunjuk oleh Allah SWT  dengan agama yang benar, malah dimusuhi?. Maka dari itu, semua orang yang menjaga agama Islam, baik secara lahir maupun bathin, memusuhi Bani Ubaid al-Qadah, kecuali orang zindik, musuh Allah dan Rasul-Nya, atau orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang dibawa Rasul-Nya.  Inilah bukti yang menunjukan kekafiran dan kebohongan mereka dalam mengakui kebenaran nasab Bani Ubaid al-Qadah.
Orang yang pertama kali mengadakan PERINGATAN MAULID NABI SAW ini adalah kelompok Bathiniyah yang ingin mengubah agama manusia dan memasukan di dalamnya apa yang tidak termasuk bagian dari padanya, untuk menjauhkan manusia dari agama mereka dengan bid'ah, suatu jalan yang paling mudah untuk mematikan sunah dan menjauhkan mereka dari syari'at Allah yang mudah dan sunnah Rasulullah saw yang suci.
Kelompok Abidiyah (Abidiyun) masuk Mesir pada hari Kamis, bulan Ramadhan, tahun 362 H, dan itulah awal kekuasaan mereka terhadap Mesir.
Ada yang mengatakan mereka masuk Mesir pada hari selasa tanggal 7 Ramadhan 362 H. Maulid (Hari Ulang Tahun) secara umum dan maulid Nabi khususnya, terjadi pada masa kepemimpinan  Al-Abidiyun, yang sebelumnya tidak pernah dilaksanakan oleh siapa pun.
Al-Muqrizi berkata, "Dengan adanya peringatan-peringatan yang dijadikan oleh kelompok fathimiyah  sebagai hari raya dan pesta seperti itu, kepemimpinan mereka bertambah luas dan mereka mendapat keuntungan yang banyak.”
Para pemimpin Fathimiyah, memiliki banyak hari raya dan peringatan setiap tahunnya, diantaranya adalah peringatan akhir tahun, peringatan maulid Ali bin Abi Thalib, Maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah az-Zahra, ulang tahun Raja yang sedang menjabat, awal bulan Rajab, malam awal bulan Sya'ban, awal bulan Ramadhan, Pertengahan Bulan Ramadhan, akhir Ramadhan, hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, Upacara Kematian, Upacara Menyambut Musim Hujan dan Musim kemarau, Peringatan penaklukan Teluk, Peringatan Hari Nairuz, hari ulang tahun, hari Kamisan, peringatan hari rukubat dan sebagainya. Setelah itu Al-Muqrizi berbicara tentang bagaimana setiap upacara dan perkumpulan itu dilaksanakan.
Demikian kesaksian yang jelas dan nyata dari Al-Muqrizi, dia termasuk orang-orang yang fanatik dan sangat menjaga nasab keturunan Ali bin Abi Thalib, sehingga mengatakan kelompok Abidiyun-lah yang menyebabkan terjadinya fitnah dalam diri umat Islam.  Merekalah orang yang pertama kali membuka pintu Perkumpulan Bid'ah dengan berbagai macamnya, hingga mereka berkumpul untuk memperingati hari raya Majusi dan Kristen seperti peringatan hari Paskah, hari kenaikan Isa Al-Masih, hari kelahiran, dan sebagainya.  Semua ini menunjukan bahwa mereka jauh dari Islam dan bahkan mereka memusuhi Islam walaupun tidak mereka tampakan secara lahir. Semua itu juga menunjukkan bahwa mereka menghidupkan upacara maulid  yang disebutkan di atas (diantaranya maulid Nabi) bukan karena cinta kepada Rasulullah saw. dan keluarganya seperti yang mereka katakan, tetapi tujuan mereka adalah menyebarluaskan aliran Ismailiya, Bathiniyah yang mereka anut dan aqidah rusak mereka dikalangan manusia serta menjauhkan mereka dari agama yang benar dan aqidah yang murni dengan cara mengadakan upacara-upacara semacam itu, menyuruh manusia untuk menghidupkannya, memberikan semangat, dan agar mereka mendapatkan keuntungan harta melalui jalan tersebut.
Ringkasannya bahwa yang pertama kali mengadakan upacara peringatan maulid Nabi adalah Bani Ubaid al-Qadah dari kelompok Fatimiyah. Buktinya seperti yang dijelaskan oleh Al-Muqrizi dalam “Khuthat”-nya dan juga dijelaskan oleh Al-Qalqasyandi dalam “Shubh al-Aqhsya.”
Pendapat di atas dikuatkan oleh para ulama modern lainnya dan mereka juga mengatakan secara terus terang dalam hal ini.
Abu Syamah menyebutkan bahwa Ubaid al-Qadah adalah orang yang pertama kali mengadakan upacara peringatan maulid Nabi, orang yang pertama kali membuat bid'ah pada zamannya. Dan orang yang pertama kali mengadakan upacara tersebut di Al-Maushil adalah Syehk Umar bin Muhamad Al-Malaa, yang kemudian diikuti oleh para penduduk Irbal. Bukan berarti para penduduk negeri Irbal adalah orang yang pertama kali mengadakan upacara peringatan Maulid Nabi.
Tetapi Imam As-Suyuthi, di dalam kitabnya, “Husnul Maqsud Fi Amal al-Maulid” menegaskan, "Orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah Penduduk Irbal, Raja agung Abu Sa'id Kau Kaburi bin Jaenudin Ali bin Bakitkin, seorang raja Negeri Amjad.”
Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, "Bid'ah peringatan maulid Nabi ini, pertama kali diadakan oleh Abu Sa'id Kau Kaburi pada abad ke-6 Hijriyah".
Syaikh Hamud at-Tuwaijiri  berkata, "Upacara peringatan maulid Nabi (ulang tahun) adalah Bid'ah  dalam Islam yang diadakan oleh Sultan Irbal pada akhir abad ke enam Hijriyah atau pada awal abad ke-7.”
Jika kita telah mengetahui semua ini, maka tidak ragu lagi kelompok al-Abidiyun adalah orang yang pertama kali mengadakan upacara peringatan-peringatan maulid Nabi, seperti yang diceritakan dalam buku-buku sejarah, karena kelompok al-Abidiyun masuk Mesir dan mendirikan kerajaan di sana pada pertengahan kedua abad Hijriyah dan pemerintahan mereka berlangsung hingga abad ke lima Hijriyah.
Al-Muiz Ma'ad Bin Ismail memasuki negeri mesir pada tahun 320 H, pada bulan Ramadhan.  Itulah awal pemerintahan mereka di mesir. Ada yang mengatakan 363 H.
Khalifah terakhir mereka adalah Al-Adhid meninggal Tahun 567 H.  Sedangkan Mujaffarudin, Penguasa Irbal, dilahirkan tahun 549 H. dan meninggal Tahun 630 H.
Ini menjadi bukti yang kuat bahwa kelompok Abidiyun lebih dulu dari Sahibul Irbal (Al-Malik al-Munjaffar) dalam mengadakan upacara maulud Nabi.
Shahibul Irbal bukan orang yang pertama kali mengadakan upacara peringatan maulid Nabi, tetapi telah didahului sebelumnya oleh Al-Abidiyun Sekitar dua abad sebelummya. Tetapi bukan berarti tidak sah mengatakan bahwa shahibul Irbal adalah orang yang pertama kali mengadakan upacara maulid  di Al-Maushil, Karena upacara maulid Nabi yang diadakan oleh Al-abidiyun  Berada di dalam wilayah mereka sendiri, yaitu Mesir, Seperti yang telah dijelaskan dalam buku-buku sejarah.
(Dikutip dari buku Al Bida' Al Hauliyyah oleh Abdullah bin Abdul Aziz at Tuwaijiry)


Hukum Membuat hari raya dan Pesta bid'ah
عِيْدٌ bentuk jamaknya adalah عِيَادٌ yang artinya تَكْرَارٌ artinya berulang
عِيْدٌ artinya perayaan , pesta, hari raya
عِيَادٌ artinya perayaan, pesta, hari raya yang selalu berulang, mungkin berulang dalam satu tahun, satu bulan, atau satu minggu.
Makna kata عِيْدٌ 'ied
1.  yang berhubungan dengan waktu
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ ابْنِ السَّبَّاقِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي جُمُعَةٍ مِنْ الْجُمَعِ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ عِيدًا فَاغْتَسِلُوا وَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ طِيبٌ فَلَا يَضُرُّهُ أَنْ يَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
Rasulullah saw bersabda, "Pada hari jum'at di waktu jum'at Wahai kaum muslimin, sesungguhnya inilah yang dijadikan Allah hari raya bagi kaum muslimin." (H.R Malik)
2.  Yang berhubungan dengan pertemuan perbuatan
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Aku telah menyaksikan (menghadiri) hari raya bersama Rasululullah saw, Abu Bakar, Umar, Utsman radiallahu'anhum mereka melakukan shoaat sebelum khutbah." (H.R al-Bukhari)
3.  Yang berhubungan dengan tempat
حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا وَلَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي
Dari Abi Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat hari raya (pesta) dan janganlah kalian jadikan rumah kalian kuburan, dimanapun kalian berada bershalawatlah kepadaku, dan sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku." (H.R Ahmad)
Hadits di atas jelas memerintahkan untuk tidak menjadikan kubur Rasulullah saw ketika beliau sudah wafat sebagai tempat pesta. Ini menunjukkan ketika beliau hidup saja beliau sudah memperingatkan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak beliau perintahkan setelah sepeninggalan beliau saw. Hadits ini juga menunjukkan jika mauludan diri beliau itu memang bermakna ibadah pastilah beliau sudah memerintahkannya.
4.  berhubungan dengan amalan-amalan yang harus dilakukan di dalamnya
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ دَخَلَ عَلَيْهَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحًى وَعِنْدَهَا قَيْنَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاذَفَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ مَرَّتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمُ
Diriwayatkan daripada Aisyah r.a katanya: Aku telah didatangi oleh Abu Bakar r.a di rumahku. Ketika itu di sampingku ada Rasulullah saw pada hari raya Iedul fitri atau Iedul Adha  ada dua orang yaitu wanita dari golongan Ansar, sedang mendendangkan syair golongan Anshar pada Hari Bu'ats yaitu hari terjadinya peperangan antara golongan 'Aus dan Khazraj. Abu Bakar r.a berkata: Patutkah ada nyanyian syaitan di rumah Rasulullah saw dan pada Hari Raya pula. Abu Bakar mengucapkannya dua kali? Lalu Rasulullah saw bersabda, "Wahai Abu Bakar! Biarkan mereka berdua! Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai Hari Raya dan hari ini adalah hari raya kita." (H.R al-Bukhari)
Hadits diatas mengandung dua Indikasi :
Pertama : kalimat إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمُ sesungguhnya setiap umat/kaum mempunya hari raya, dan inilah hari raya kita pada hari ini.
Menunjukkan setiap umat itu memang mempunyai hari raya tersendiri, Allah swt telah berfirman :
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (al-Baqarah : 148)
Jadi hari raya orang yahudi dan Nasrani adalah khusus bagi mereka dan kita tidak boleh menyerupai atau menyertai mereka dalam perayaan, sama seperti kita tidak menyertai mereka dalam agama mereka.
Kedua : kalimat وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمُ  dan ini adalah hari raya kita pada hari ini.
Mengandung arti bahwa hari raya kita adalah khusus bagi kita sendiri dan kita tidak mempunyai hari raya selain itu. Kalimat "dan hari raya kita adalah hari ini" menisbatkan kata ied (hari raya) kepada gata ganti "Naa (kita)" dan kata الْيَوْمُ " Al Yaum" bersifat jelas karena adanya alif lam, yang mengindikasikan terbatas, Yaitu iedhul Adha dan iedul Fitri.
Dengan demikian, setiap orang tidak boleh mengadakan perayaan bagi hari, tempat atau pertemuan yang tidak diperintahkan syariat Islam untuk menjadikannya sebagai hari raya, baik dengan mengkhususkannya sebagai hari raya. Baik mengkhususkannya sebagai ibadah, atau pertemuan atau tradisi. Bila perbuatan  itu menyerupai perbuatan orang kafir, musyrik, Yahudi, Nasrani, maka dosanya tentu lebih besar dan lebih berbahaya. Karena ia mengandung menyerupai umat lain secara lahir, yang pada gilirannya akan menyerupai secara batin.
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَابِتُ بْنُ الضَّحَّاكِ قَالَ نَذَرَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ يُعْبَدُ قَالُوا لَا قَالَ هَلْ كَانَ فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ قَالُوا لَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
Seorang laki-laki menyampaikan kepada Rasulullah saw bahwa ia ingin menyembelih onta sebagai nadzar di suatu tempat yang bernama Buwanah,  kemudian Nabi mendekat kepadanya dan Rasulullah saw besabda kepadanya, "Apakah di dalamnya ada berhala-berhala jahiliyah yang disembah?" ia menjawab tidak, beliau bertanya lagi, "apakah di sana diselenggarakan salah satu upacara hari raya mereka?" ia menjawab, tidak, beliau bertanya lagi, laksanakan nadzarmu, karena nadzar yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah dan yang tidak mungkin bisa dilakukan manusia, tidak perlu dilaksanakan oleh anak Adam (H.R Abu Dawud)
Perhatikan hadits di atas, tempat yang biasa dipakai melakukan perayaan hari raya mereka atau menyembah berhala tidak boleh dilakukan untuk menyembelih hewan, sekalipun itu nadzar. Sebab jika makna ini tidak ada, maka strukuur makna hadits tersebut akan menjadi kacau, dan pertanyaan rinci Rasulullah saw tidak menjadi mendasar. Padahal jelas tempat itu memang di sucikan dengan mengadakan Ibadah atau menghidupkan syiar hari raya mereka di dalamnya dan semacamnya.
Jadi melakukan perayaan hari ulang tahun, baik untuk Nabi Isa maupun Nabi Muhammad harus ada perintahnya yang jelas dari Rasulullah saw.
Mengadakan perayaan atau peringatan hari tertentu itu harus ada dasar hukumnya, karena Rasulullah saw telah mengatakan, urusan agama itu harus jelas perintahnya dari beliau. Sebaliknya jika termasuk urusan dunia, maka diperbolehkan untuk melakukan apapun sesuai kemampuan ilmu kita.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الرُّومِيِّ الْيَمَامِيُّ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ وَهُوَ ابْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو النَّجَاشِيِّ حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ قَالَ قَدِمَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ يَقُولُونَ يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ فَقَالَ مَا تَصْنَعُونَ قَالُوا كُنَّا نَصْنَعُهُ قَالَ لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا فَتَرَكُوهُ فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ قَالَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
Dari Rafi bin Khudaij ia berkata, Nabi datang ke Madinah sedangkan orang-orang  pada waktu itu sedang menyerbukan korma , lalu Rasulullah saw bertanya, apa yang sedang kalian kerjakan? mereka menjawab, kami sedang melakukan penyerbukan pohon kurma, Rasulullah saw bersabda, mungkin jika kalian tidak merawatnya seperti itu akan lebih baik, akhirnya orang-orang tidak melakukannya, namu ternyata hasil buahnya berkurang, maka mereka mengadukan kejadian itu kepada Rasulullah saw, lantas beliau bersabda, sesungguhnya aku adalah manusia biasa, jika aku memerintahkan kepada kalian sesuatu dari urusan agama kalian maka ambillah, namun apabila aku perintahkan kalian sesuatu yang berasal dari ideku maka sesungguhnya aku adalah manusia biasa. (HR Muslim)
Contoh jelasnya perintah tentang dilarangnya menjadikan kuburan beliau tempat pesta, beliau saw bersabda لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا, janganlah kamu menjadikan kuburanku tempat pesta.

Kesimpulan :
1. Mengadakan Ritual Mauludan itu tidak datang dari sisi Muhammad saw, tapi ia datang dari sisi Bani Ubaid Al-Qadah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah dan mereka menisbatkan diri kepada putra Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu, padahal sebenarnya mereka adalah peletak dasar untuk mendakwahkan aliran kebathinan.
2. Mengadakan Ritual Mauludan tidak pernah dicontohkan Rasulullah, Shahabat, Tabiin & Tabiut Tabiin.
3. Apa bedanya mengadakan Maulud Nabi Isa (menurut ajaran Nashrani) dengan Maulud Nabi Muhammad saw, padahal kita diperintahkan untuk tidak tasyabbuh millah mereka, bahkan diharuskan berbeda dengan mereka.
4. Hari raya yang dicontohkan oleh Rasulullah bagi kit aumat Islam sudah jelas, yaitu Iedul Fitri da Iedul Adha. Tidak boleh dikurangi atau ditambah, karena dengan penambahan atau pengurangan, akan menimbulkan bid'ah dalam agama.
5. Semasa Rasulullah saw hiduppun tidak pernah merayakan hari kelahiran beliau.
6. Bagaimana mungkin Mauludan dikatakan sunnah sedangkan Rasulullah tidak pernah mencontohkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar