Maulud Nabi dalam Tinjauan Sejarah dan Syari'at
Waktu berlalu, generasi pertama, kedua, dan ketiga
pun ikut berlalu, namun tidak ada dalam catatan buku-buku sejarah yang memuat
salah seorang dari sahabat, tabi'in maupun tabiut-tabi'in dan sesudahnya yang
mengadakan peringatan Maulud (Hari kelahiran) Nabi saw, padahal mereka sangat
mencintai Nabi, orang-orang yang paling tahu tentang sunnah dan orang-orang
yang paling giat mengikuti syariatnya.
Orang
yang pertamakali mengadakan bid'ah ini adalah Bani Ubaid al-Qadah yang
menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah dan mereka
menisbatkan diri kepada putra Ali bin Abi Thalib r.a., padahal
sebenarnya mereka adalah peletak dasar untuk mendakwahkan aliran kebathinan. Nenek
moyang mereka adalah Ibnu Dhishan yang dikenal dengan al-Qadah. Dulunya dia adalah budak Ja'far bin Muhamad
ash-Shidiq, berasal dari Ahwaz dan salah seorang pendiri Aliran Bathiniyah
di Irak, kemudian pindah ke Maghrib dan menisbatkan diri dalam hal ini kepada
Aqil bin Abi Thalib, serta mengaku berasal dari keturunannya. Ketika orang-orang
dari kelompok Rafidhah yang sesat menerima seruannya, dia mengaku bahwa dirinya
adalah anak Muhamad bin Ismail bin Ja'far ash-Shidiq, sehingga mereka
menerimanya, padahal Muhamad bin Ismail bin Ja'far ash-Shidiq meninggal dunia
tanpa meninggalkan keturunan. Diantara mereka yang mengikuti jejaknya, yaitu Hamdan
Qarmith sehingga kepadanyalah aliran Qaramithah dinisbatkan. Setelah berjalan
beberapa saat, munculah Sa'id bin Husain bin Ahmad bin Abdilah bin Maimun
bin Dishan al-Qadah, lalu dia mengubah nama dan nasabnya dan berkata kepada
pengikut-pengikutnya, "Saya adalah Abidullah bin Hasan bin Muhamad bin
Ismail bin Ja'far ash-Shidiq, maka
tampaklah fitnahnya setelah itu di Maghrib. Al-Bagdadi berkata "Sekarang
anak-anaknya menguasai banyak bidang (pekerjaan) di Mesir.”
Ibnu
Khalkan berkata, "Orang-orang yang ahli dalam masalah nasab dan
muhaqqiq mengingkari pengakuannya tentang nasab".
Pada tahun 402 H. kelompok
ulama, qadhi, orang-orang yang mulia, orang-orang adil, shahih, para fuqaha dan
muhadditsin, menyampaikan kuliah tentang celaan terhadap nasab al-fathimiyah al-Abidiyah.
Mereka semua bersaksi bahwa pemimpin mesir yaitu Manshur bin Nazzar yang diberi
gelar dengan al-Hakim bin Maad bin Ismail bin Abdulah bin Sa'id, ketika sampai
di negeri Maghrib, dia mengganti nama dengan Ubaidillah dan membuat gelar
dengan nama Al-Mahdi. Para pendahulunya (nenek moyangnya) adalah penganut
aliran Khawarij dan tidak ada nasab dengan putra Ali bin Abi Thalib r.a., dan
tidak ada hubungan dengannya dari sudut manapun, karena dia bersih dari
kebatilan mereka, sedangkan apa yang mereka serukan adalah bathil dan
dosa. Mereka sama sekali tidak tahu tentang
seorangpun dari keluarga Ali bin Abi Thalib r.a., atau secara mutlak
bisa dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang khawarij pembohong. Pengingkaran
ini dilakukan karena kebathilan mereka yang menyebar di Haramain. Pada awalnya
hanya menyebar di Maghrib, tetapi akhirnya menyebar dengan pesat, maka bisa
dikatakan penguasa Mesir dan pendahulunya itu adalah orang-orang kafir, fasik, dosa, atheis, dan
zindik. Mereka menentang Islam, aliran
mereka Majusi dan yakin kepada berhala-berhala.
Mereka telah membatalkan hukum-hukum syari'at, membolehkan zina,
menghalalkan khamr, menumpahkan darah, mencela para nabi, melaknat para salaf, dan
mengaku bahwa mereka adalah titisan Tuhan. Komentar-komentar ini ditulis pada
tahun 402 H, dan tulisan itu dikeluarkan oleh banyak orang.
Al-Qadhi al-Baqilani
menulis sebuah buku tentang penolakannya terhadap mereka, yang dia beri judul “Kasyfu
al-Asraar Wa Hatki al-Astaar.” Dalam
buku itu dia menjelaskan tentang kejelekan-kejelekan mereka dan berkata tentang
mereka, "Mereka adalah kaum yang menampakkan Faham Rafidhah secara
lahir dan menyembunyikan kekafiran".
Ketika Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang mereka, dia menjawab, "Mereka
adalah orang yang paling fasik dan paling kufur." Siapa yang memberi kesaksian bahwa mereka
adalah orang yang beriman dan bertaqwa, atau benar nasabnya, maka dia telah
bersaksi tentang mereka dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, padahal Allah
Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggung
jawaban". (Q.S.
Al-Isra : 36)
Para ulama
umat, para pemimpin dan para pembesarnya, bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang
munafik zindiq, yang menampakan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada
orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas
sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukan
keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukan atas kemunafikan dan
kezindikan mereka.
Begitupula
dalam hal nasab, telah diketahui bahwa jumhur umah mencatat nasab mereka dan
menyebutkan bahwa mereka keturunan orang Majusi dan Yahudi. Inilah yang masyhur
menurut kesaksian para ulama Thaif dari mahzab Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi'iyah, Hanabilah, Ahlul Kalam, ahli nasab, orang-orang awam dan
sebagainya. Bahkan orang-orang yang tidak begitu kenal terhadap merekapun,
seperti Ibnu al-Atsir al-Mushili, juga menulis dalam sejarahnya, seperti yang
ditulis oleh para ulama lain, yaitu mencatat nasab mereka.
Adapun
kebanyakan penulis, baik lama maupun baru, hingga Al-Qadhi bin Khalikan dalam Tarikh-nya,
membatalkan nasab mereka. Begitu juga Ibnu al-Jauzi, Abu Syamah, dan ahlu ilmi
lainnya. Bahkan para ulama menulis buku-buku khusus untuk menyingkap rahasia
mereka dan membuka kedok mereka, seperti al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani dalam
bukunya yang terkenal untuk menyingkap rahasia dan kedok mereka. Dalam buku itu Al-Baqilani mengatakan bahwa
mereka adalah keturunan Majusi dan aliran mereka lebih berbahaya dari mahzab
Al-Ghaliyah yang mengakui ketuhanan atau kenabian Ali. Mereka lebih kafir dari
mahzab Al- Ghaliyah itu. Begitu juga Al-qadhi Abu Ya'la, dalam bukunya “Al-Mu'tamad”,
menjelaskan secara panjang lebar tentang kezindikan dan kekafiran mereka, juga
Abu Hamid al-Ghazali, dalam bukunya yang diberi judul “Fadhail
al-Mustadzhiriyah wa Fadhail al-Bathiniyah.” Dia berkata, "Secara lahir aliran
mereka Rhafidhah, tetapi bathinnya kafir mutlak."
Demikian juga al-Qadhi Abu Jabbar bin Ahmad dan penganut aliran Mu'tazilah lainnya, yang
tidak mengutamakan orang lain atas Ali, Bahkan mereka menfasikan orang yang
membunuhnya dan dosanya tidak terampuni. Mereka menempatkan kelompok bathiniyah
itu sebagai pemimpin kaum munafik dan zindik.
Seperti itulah aliran pendapat kelompok mu'tazilah tentang kelompok
bathiniyah. Jika seperti itu pendapat kelompok
mu'tazilah, lalu bagaimana dengan kelompok Ahlu Sunah?. Kelompok Rafidhah
Imamiyah, walaupun mereka dianggap kelompok paling bodoh, tidak berakal dan
tidak beragama dengan benar serta tidak menolong Agama, tetapi mereka tahu
perkataan orang-orang zindik dan munafik itu. Mereka tahu bahwa pendapat
kelompok bathiniyah itu lebih berbahaya daripada pendapat kelompok Al-Ghaliyah
yang meyakini keturunan Ali r.a.
Celaan
terhadap nasab mereka (Bani Ubaid al-Qadah) ini dapat dilacak dalam catatan
ulama-ulama umat dari berbagai macam kelompok. Hingga sekarang para ulama yang
masih terjaga ilmu dan agamanya itu, tetap mencela nasab dan agama Bani Ubaid
al-Qadah, Bukan karena mereka menganut aliran Rafidhah ataupun Syi'ah, sebab
orang-orang semacam ini banyak, tetapi mencela mereka karena mereka bergabung
dengan kelompok Qaramithan al-Bathiniyah, yang diantara mereka ada kelompok
Ismailiyah, Nasiriyah dan kelompok kafir munafik lainnya, yang menampakkan Islam
dan menyembunyikan kekafiran, sebagian mereka ada yang mengambil pendapat
orang-orang majusi dan sebagian lain mengambil pendapat filosof. Barang siapa
yang memberi kesaksian bahwa nasab dan keimanan mereka benar, pasti
kesaksiannya itu tidak didasarkan pada pengetahuan. Kesaksian semacam ini haram hukumnya menurut
kesepakatan umat. Tetapi yang tampak
dari mereka adalah kemunafikan, kezindikan, dan permusuhan terhadap wahyu yang
dibawa oleh Rasulullah saw. Ini semua
manjadi bukti atas kebathilan nasab Fathimiyah mereka, karena orang yang
menjadi kerabat Nabi saw., dan menegakkan kehalifahan pada umatnya, tidak akan
memerangi agamanya seperti yang mereka lakukan.
Tidak ada dari kalangan bani Hasyim, atau Bani Umayyah yang menjadi khalifah,
lalu mencoreng agama Islam, apalagi memusuhinya seperti yang dilakukan oleh
Bani Ubaid al-Qadah. Keturunan raja-raja yang tidak beragama saja, mereka
menjaga agama nenek moyang mereka, tetapi mengapa anak keturunan adam, yang
telah diberi petunjuk oleh Allah SWT
dengan agama yang benar, malah dimusuhi?. Maka dari itu, semua orang
yang menjaga agama Islam, baik secara lahir maupun bathin, memusuhi Bani Ubaid
al-Qadah, kecuali orang zindik, musuh Allah dan Rasul-Nya, atau orang bodoh
yang tidak mengetahui apa yang dibawa Rasul-Nya. Inilah bukti yang menunjukan kekafiran dan
kebohongan mereka dalam mengakui kebenaran nasab Bani Ubaid al-Qadah.
Orang
yang pertama kali mengadakan PERINGATAN MAULID NABI SAW
ini adalah kelompok Bathiniyah yang ingin mengubah agama manusia dan memasukan
di dalamnya apa yang tidak termasuk bagian dari padanya, untuk menjauhkan
manusia dari agama mereka dengan bid'ah, suatu jalan yang paling mudah untuk
mematikan sunah dan menjauhkan mereka dari syari'at Allah yang mudah dan sunnah
Rasulullah saw yang suci.
Kelompok
Abidiyah (Abidiyun) masuk Mesir pada hari Kamis, bulan Ramadhan, tahun 362 H,
dan itulah awal kekuasaan mereka terhadap Mesir.
Ada
yang mengatakan mereka masuk Mesir pada hari selasa tanggal 7 Ramadhan 362 H. Maulid (Hari Ulang Tahun) secara umum dan maulid Nabi khususnya, terjadi pada
masa kepemimpinan Al-Abidiyun, yang
sebelumnya tidak pernah dilaksanakan oleh siapa pun.
Al-Muqrizi
berkata, "Dengan adanya peringatan-peringatan yang dijadikan oleh
kelompok fathimiyah sebagai hari raya
dan pesta seperti itu, kepemimpinan mereka bertambah luas dan mereka mendapat
keuntungan yang banyak.”
Para pemimpin
Fathimiyah, memiliki banyak hari raya dan peringatan setiap tahunnya, diantaranya
adalah peringatan akhir tahun, peringatan maulid Ali bin Abi Thalib, Maulid
Hasan dan Husain, maulid Fatimah az-Zahra, ulang tahun Raja yang sedang
menjabat, awal bulan Rajab, malam awal bulan Sya'ban, awal bulan Ramadhan,
Pertengahan Bulan Ramadhan, akhir Ramadhan, hari raya Idul Fitri, hari raya
Idul Adha, Upacara Kematian, Upacara Menyambut Musim Hujan dan Musim kemarau,
Peringatan penaklukan Teluk, Peringatan Hari Nairuz, hari ulang tahun, hari Kamisan,
peringatan hari rukubat dan sebagainya. Setelah itu Al-Muqrizi berbicara
tentang bagaimana setiap upacara dan perkumpulan itu dilaksanakan.
Demikian
kesaksian yang jelas dan nyata dari Al-Muqrizi, dia termasuk orang-orang yang
fanatik dan sangat menjaga nasab keturunan Ali bin Abi Thalib, sehingga
mengatakan kelompok Abidiyun-lah yang menyebabkan terjadinya fitnah dalam diri
umat Islam. Merekalah orang yang pertama
kali membuka pintu Perkumpulan Bid'ah dengan berbagai macamnya, hingga mereka
berkumpul untuk memperingati hari raya Majusi dan Kristen seperti peringatan
hari Paskah, hari kenaikan Isa Al-Masih, hari kelahiran, dan sebagainya. Semua ini menunjukan bahwa mereka jauh dari
Islam dan bahkan mereka memusuhi Islam walaupun tidak mereka tampakan secara
lahir. Semua itu juga menunjukkan bahwa mereka menghidupkan upacara maulid yang disebutkan di atas (diantaranya maulid
Nabi) bukan karena cinta kepada Rasulullah saw. dan keluarganya seperti yang
mereka katakan, tetapi tujuan mereka adalah menyebarluaskan aliran Ismailiya,
Bathiniyah yang mereka anut dan aqidah rusak mereka dikalangan manusia serta menjauhkan
mereka dari agama yang benar dan aqidah yang murni dengan cara mengadakan
upacara-upacara semacam itu, menyuruh manusia untuk menghidupkannya, memberikan
semangat, dan agar mereka mendapatkan keuntungan harta melalui jalan tersebut.
Ringkasannya
bahwa yang pertama kali mengadakan upacara peringatan maulid Nabi adalah Bani
Ubaid al-Qadah dari kelompok Fatimiyah. Buktinya seperti yang dijelaskan oleh
Al-Muqrizi dalam “Khuthat”-nya dan juga dijelaskan oleh Al-Qalqasyandi
dalam “Shubh al-Aqhsya.”
Pendapat di
atas dikuatkan oleh para ulama modern lainnya dan mereka juga mengatakan secara
terus terang dalam hal ini.
Abu Syamah
menyebutkan bahwa Ubaid al-Qadah adalah orang yang pertama kali mengadakan
upacara peringatan maulid Nabi, orang yang pertama kali membuat bid'ah pada
zamannya. Dan orang yang pertama kali mengadakan upacara tersebut di Al-Maushil
adalah Syehk Umar bin Muhamad Al-Malaa, yang kemudian diikuti oleh para
penduduk Irbal. Bukan berarti para penduduk negeri Irbal adalah orang yang
pertama kali mengadakan upacara peringatan Maulid Nabi.
Tetapi Imam As-Suyuthi,
di dalam kitabnya, “Husnul Maqsud Fi Amal al-Maulid” menegaskan, "Orang
yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah Penduduk Irbal, Raja
agung Abu Sa'id Kau Kaburi bin Jaenudin Ali bin Bakitkin, seorang raja Negeri
Amjad.”
Syaikh Muhammad
bin Ibrahim berkata, "Bid'ah peringatan maulid Nabi ini, pertama kali diadakan oleh Abu Sa'id Kau Kaburi pada abad ke-6 Hijriyah".
Syaikh Hamud
at-Tuwaijiri berkata, "Upacara
peringatan maulid Nabi (ulang tahun) adalah Bid'ah dalam Islam yang diadakan oleh Sultan Irbal
pada akhir abad ke enam Hijriyah atau pada awal abad ke-7.”
Jika kita
telah mengetahui semua ini, maka tidak ragu lagi kelompok al-Abidiyun adalah
orang yang pertama kali mengadakan upacara peringatan-peringatan maulid Nabi,
seperti yang diceritakan dalam buku-buku sejarah, karena kelompok al-Abidiyun
masuk Mesir dan mendirikan kerajaan di sana pada pertengahan kedua abad
Hijriyah dan pemerintahan mereka berlangsung hingga abad ke lima Hijriyah.
Al-Muiz Ma'ad
Bin Ismail memasuki negeri mesir pada tahun 320 H, pada bulan Ramadhan. Itulah awal pemerintahan mereka di mesir. Ada
yang mengatakan 363 H.
Khalifah
terakhir mereka adalah Al-Adhid meninggal Tahun 567 H. Sedangkan Mujaffarudin, Penguasa Irbal, dilahirkan tahun 549 H. dan meninggal Tahun 630 H.
Ini menjadi
bukti yang kuat bahwa kelompok Abidiyun lebih dulu dari Sahibul Irbal (Al-Malik
al-Munjaffar) dalam mengadakan upacara maulud Nabi.
Shahibul Irbal bukan orang yang pertama kali
mengadakan upacara peringatan maulid Nabi, tetapi telah didahului sebelumnya
oleh Al-Abidiyun Sekitar dua abad sebelummya. Tetapi bukan berarti tidak sah
mengatakan bahwa shahibul Irbal adalah orang yang pertama kali mengadakan
upacara maulid di Al-Maushil, Karena upacara
maulid Nabi yang diadakan oleh Al-abidiyun
Berada di dalam wilayah mereka sendiri, yaitu Mesir, Seperti yang telah
dijelaskan dalam buku-buku sejarah.
(Dikutip dari buku Al Bida' Al Hauliyyah oleh
Abdullah bin Abdul Aziz at Tuwaijiry)
Hukum Membuat hari raya dan Pesta bid'ah
عِيْدٌ bentuk
jamaknya adalah عِيَادٌ yang artinya تَكْرَارٌ artinya
berulang
عِيْدٌ artinya
perayaan , pesta, hari raya
عِيَادٌ artinya
perayaan, pesta, hari raya yang selalu berulang, mungkin berulang dalam satu
tahun, satu bulan, atau satu minggu.
Makna
kata عِيْدٌ 'ied
1.
yang berhubungan dengan waktu
حَدَّثَنِي يَحْيَى
عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ ابْنِ السَّبَّاقِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي جُمُعَةٍ مِنْ الْجُمَعِ يَا
مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ عِيدًا فَاغْتَسِلُوا
وَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ طِيبٌ فَلَا يَضُرُّهُ أَنْ يَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ
بِالسِّوَاكِ
Rasulullah saw bersabda, "Pada hari jum'at di waktu
jum'at Wahai kaum muslimin, sesungguhnya inilah yang dijadikan Allah hari raya
bagi kaum muslimin." (H.R Malik)
2.
Yang berhubungan dengan
pertemuan perbuatan
حَدَّثَنَا أَبُو
عَاصِمٍ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ
مُسْلِمٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ
الْخُطْبَةِ
Dari
Ibnu Abbas, ia berkata, "Aku telah menyaksikan (menghadiri) hari raya bersama
Rasululullah saw, Abu Bakar, Umar, Utsman radiallahu'anhum mereka melakukan
shoaat sebelum khutbah." (H.R al-Bukhari)
3.
Yang berhubungan dengan tempat
حَدَّثَنَا
سُرَيْجٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ
عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا وَلَا
تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ
صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي
Dari Abi Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Janganlah
kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat hari raya (pesta) dan janganlah
kalian jadikan rumah kalian kuburan, dimanapun kalian berada bershalawatlah
kepadaku, dan sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku." (H.R Ahmad)
Hadits di atas
jelas memerintahkan untuk tidak menjadikan kubur Rasulullah saw ketika beliau sudah
wafat sebagai tempat pesta. Ini menunjukkan ketika beliau hidup saja beliau
sudah memperingatkan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak beliau
perintahkan setelah sepeninggalan beliau saw. Hadits ini juga menunjukkan jika
mauludan diri beliau itu memang bermakna ibadah pastilah beliau sudah
memerintahkannya.
4. berhubungan
dengan amalan-amalan yang harus dilakukan di dalamnya
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ دَخَلَ عَلَيْهَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحًى وَعِنْدَهَا قَيْنَتَانِ
تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاذَفَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ
مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ مَرَّتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ
عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمُ
Diriwayatkan
daripada Aisyah r.a katanya: Aku telah didatangi oleh Abu Bakar r.a di
rumahku. Ketika itu di sampingku ada Rasulullah saw pada hari raya Iedul fitri
atau Iedul Adha ada dua orang yaitu
wanita dari golongan Ansar, sedang mendendangkan syair golongan Anshar pada Hari
Bu'ats yaitu hari terjadinya peperangan antara golongan 'Aus dan Khazraj. Abu
Bakar r.a berkata: Patutkah ada nyanyian syaitan di rumah Rasulullah saw dan
pada Hari Raya pula. Abu Bakar mengucapkannya dua kali? Lalu Rasulullah saw
bersabda, "Wahai Abu Bakar! Biarkan mereka berdua! Sesungguhnya setiap kaum itu
mempunyai Hari Raya dan hari ini adalah hari raya kita." (H.R al-Bukhari)
Hadits diatas
mengandung dua Indikasi :
Pertama : kalimat إِنَّ لِكُلِّ
قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمُ sesungguhnya
setiap umat/kaum mempunya hari raya, dan inilah hari raya kita pada hari ini.
Menunjukkan
setiap umat itu memang mempunyai hari raya tersendiri, Allah swt telah berfirman :
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ
هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ
اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Dan bagi tiap-tiap
umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu." (al-Baqarah : 148)
Jadi hari raya
orang yahudi dan Nasrani adalah khusus bagi mereka dan kita tidak boleh
menyerupai atau menyertai mereka dalam perayaan, sama seperti kita tidak
menyertai mereka dalam agama mereka.
Kedua : kalimat وَإِنَّ عِيدَنَا
هَذَا الْيَوْمُ dan ini adalah hari raya kita pada
hari ini.
Mengandung
arti bahwa hari raya kita adalah khusus bagi kita sendiri dan kita tidak
mempunyai hari raya selain itu. Kalimat "dan hari raya kita adalah hari
ini" menisbatkan kata ied (hari raya) kepada gata ganti "Naa
(kita)" dan kata
الْيَوْمُ " Al
Yaum" bersifat jelas karena adanya alif lam, yang mengindikasikan
terbatas, Yaitu iedhul Adha dan iedul Fitri.
Dengan
demikian, setiap orang tidak boleh mengadakan perayaan bagi hari, tempat atau
pertemuan yang tidak diperintahkan syariat Islam untuk menjadikannya sebagai
hari raya, baik dengan mengkhususkannya sebagai hari raya. Baik mengkhususkannya
sebagai ibadah, atau pertemuan atau tradisi. Bila perbuatan itu menyerupai perbuatan orang kafir,
musyrik, Yahudi, Nasrani, maka dosanya tentu lebih besar dan lebih berbahaya.
Karena ia mengandung menyerupai umat lain secara lahir, yang pada gilirannya
akan menyerupai secara batin.
حَدَّثَنَا دَاوُدُ
بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ
يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنِي
ثَابِتُ بْنُ الضَّحَّاكِ قَالَ نَذَرَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَأَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ
أَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ يُعْبَدُ
قَالُوا لَا قَالَ هَلْ كَانَ فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ قَالُوا لَا قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَإِنَّهُ
لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ
آدَمَ
Seorang laki-laki
menyampaikan kepada Rasulullah saw bahwa ia ingin menyembelih onta sebagai
nadzar di suatu tempat yang bernama Buwanah,
kemudian Nabi mendekat kepadanya dan Rasulullah saw besabda kepadanya, "Apakah di dalamnya ada berhala-berhala jahiliyah yang disembah?" ia menjawab
tidak, beliau bertanya lagi, "apakah di sana diselenggarakan salah satu upacara
hari raya mereka?" ia menjawab, tidak, beliau bertanya lagi, laksanakan nadzarmu,
karena nadzar yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah dan yang tidak mungkin
bisa dilakukan manusia, tidak perlu dilaksanakan oleh anak Adam (H.R Abu Dawud)
Perhatikan
hadits di atas, tempat yang biasa dipakai melakukan perayaan hari raya mereka
atau menyembah berhala tidak boleh dilakukan untuk menyembelih hewan, sekalipun
itu nadzar. Sebab jika makna ini tidak ada, maka strukuur makna hadits tersebut
akan menjadi kacau, dan pertanyaan rinci Rasulullah saw tidak menjadi mendasar.
Padahal jelas tempat itu memang di sucikan dengan mengadakan Ibadah atau menghidupkan
syiar hari raya mereka di dalamnya dan semacamnya.
Jadi melakukan
perayaan hari ulang tahun, baik untuk Nabi Isa maupun Nabi Muhammad harus ada
perintahnya yang jelas dari Rasulullah saw.
Mengadakan
perayaan atau peringatan hari tertentu itu harus ada dasar hukumnya, karena Rasulullah saw telah mengatakan, urusan agama itu harus jelas perintahnya dari
beliau. Sebaliknya jika termasuk urusan dunia, maka diperbolehkan untuk melakukan apapun sesuai kemampuan ilmu kita.
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ الرُّومِيِّ الْيَمَامِيُّ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ
الْعَنْبَرِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا
النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ وَهُوَ ابْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا
أَبُو النَّجَاشِيِّ حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ قَالَ قَدِمَ نَبِيُّ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ
يَقُولُونَ يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ فَقَالَ مَا تَصْنَعُونَ قَالُوا كُنَّا
نَصْنَعُهُ قَالَ لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا فَتَرَكُوهُ
فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ قَالَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
Dari Rafi bin
Khudaij ia berkata, Nabi datang ke Madinah sedangkan orang-orang pada waktu itu sedang menyerbukan korma ,
lalu Rasulullah saw bertanya, apa yang sedang kalian kerjakan? mereka menjawab,
kami sedang melakukan penyerbukan pohon kurma, Rasulullah saw bersabda, mungkin
jika kalian tidak merawatnya seperti itu akan lebih baik, akhirnya orang-orang
tidak melakukannya, namu ternyata hasil buahnya berkurang, maka mereka mengadukan
kejadian itu kepada Rasulullah saw, lantas beliau bersabda, sesungguhnya
aku adalah manusia biasa, jika aku memerintahkan kepada kalian sesuatu dari
urusan agama kalian maka ambillah, namun apabila aku perintahkan kalian sesuatu
yang berasal dari ideku maka sesungguhnya aku adalah manusia biasa. (HR Muslim)
Contoh
jelasnya perintah tentang dilarangnya menjadikan kuburan beliau tempat pesta,
beliau saw bersabda
لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا,
janganlah kamu menjadikan kuburanku tempat pesta.
1.
Mengadakan Ritual Mauludan itu tidak datang dari sisi Muhammad saw, tapi ia datang
dari sisi Bani Ubaid Al-Qadah yang menamakan diri mereka dengan kelompok
Fathimiyah dan mereka menisbatkan diri kepada putra Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
Anhu, padahal sebenarnya mereka adalah peletak dasar untuk mendakwahkan
aliran kebathinan.
2. Mengadakan Ritual Mauludan tidak pernah dicontohkan Rasulullah, Shahabat, Tabiin & Tabiut Tabiin.
3. Apa bedanya mengadakan Maulud Nabi Isa (menurut ajaran Nashrani) dengan Maulud Nabi Muhammad saw, padahal kita diperintahkan untuk tidak tasyabbuh millah mereka, bahkan diharuskan berbeda dengan mereka.
4. Hari raya yang dicontohkan oleh Rasulullah bagi kit aumat Islam sudah jelas, yaitu Iedul Fitri da Iedul Adha. Tidak boleh dikurangi atau ditambah, karena dengan penambahan atau pengurangan, akan menimbulkan bid'ah dalam agama.
5. Semasa Rasulullah saw hiduppun tidak pernah merayakan hari kelahiran beliau.
6. Bagaimana mungkin Mauludan dikatakan sunnah sedangkan Rasulullah tidak pernah
mencontohkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar